Insiden Tepi Kali Bekasi
Pada masa pasca proklamasi, ketidakstabilan pemerintahan begitu
terasa. Kekacauan terjadi dimana-mana. Penjarahan, perampokan, dan pembunuhan
menjadi hal yang biasa sehari-hari. Indonesia seperti anak kehilangan induknya.
Tidak ada pegangan. Jepang yang baru saja kalah oleh sekutu tidak bisa berbuat
banyak. Inggris maupun Belanda sedang proses memasuki Indonesia. Sedangkan pemerintahan
Sukarno-Hatta masih baru dan belum kuat untuk mengatur negara. Akibatnya,
Indonesia bagai hutan rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Termasuk di
daerah Bekasi.
Di beberapa titik acap kali terdapat razia dan pemeriksaan, baik dari pemerintah
maupun kelompok masyarakat. Melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat
yang lain, sepertinya nyawa dan harta tidak jarang menjadi taruhan.
Hingga suatu ketika di pagi hari 19 Oktober 1945. Pada pukul 09.00, Letnan Dua
Zakaria Burhanuddin (21 tahun) yang saat itu menjabat sebagai Wakil Komandan TKR Batalyon V Bekasi
mendapat telepon dari komandannya di Jakarta, Mayor
Sambas Atmadinata. Dia mengabarkan ke wakilnya
tersebut bahwa baru saja kereta api dari Stasiun Jatinegara berangkat menuju
Subang. Kereta dengan delapan gerbong berisi sekitar 87 tentara Jepang dari Kesatuan Kaigun (Angkatan Laut). Mereka merupakan tawanan
sekutu yang hendak
dipulangkan ke Jepang dari Jakarta melalui
Lapangan Udara Kalijati, Subang, Jawa Barat mengunakan jalur kereta api.
Zakaria
dan pasukannya memang ditempatkan di pusat kota di Bekasi. Dimana Stasiun
Bekasi merupakan salah satu tempat yang menjadi tanggung jawabnya. Tugas mereka
adalah melakukan pemeriksaan terhadap setiap kereta yang lewat. Selain itu juga
pada hari itu memang belum terjadi kesepakatan antara Indonesia dengan pihak
Inggris untuk bekerjasama memulangkan tentara Jepang maupun interniran (tawanan) ke daerahnya
masing-masing.
Seperti biasa, Zakaria langsung berkoordinasi dengan Perusahaan Djawatan
Kereta Api Bekasi. Mereka meminta kepada kepala stasiun Bekasi agar memindahkan
wesel dari rel dua (arah Cikampek) ke rel buntu setelah stasiun Bekasi. Palang pintu rel ditutup.
Sekitar pukul 10.00 kereta dari arah Jatinegara tersebut memasuki
Stasiun Bekasi. Selepas Stasiun Bekasi, kereta tidak terus melewati jembatan,
melainkan mengarah pada rel buntu sesuai yang telah direncanakan sebelumnya. Setelah kereta
berhenti barulah pihak BKR
memulai pemeriksaan sebagaimana biasanya terhadap kereta yang lewat. Meskipun sebenarnya
awak kereta telah mencoba mencegah penggeledahan terhadap tawanan dengan
menunjukkan surat perintah jalan dari Menteri Soebardjo yang ditandatangani
Presiden Sukarno. Namun surat tersebut tidak digubris.
Penggeledahan dimulai dengan Zakaria naik ke tangga salah satu gerbong kereta. Setelah diketok
beberapa kali, pintu gerbang dibuka oleh salah seorang prajurit Jepang. Tidak berapa lama kemudian, seorang komandan tentara Jepang keluar.
Tugu yang diresmikan pada tahun 2005 dalam rangka peringatan
pembunuhan tentara Jepang di Tepi Kali Bekasi. Biaya pembangunan merupakan gabungan dari Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. Di bagian bawah terdapat relief kronologis pengempungan kereta.
Setelah bertatapan beberapa saat, sang komandan Jepang menembakkan pistolnya ke
arah Zakaria namun tidak kena. Dengan sigap, Zakaria langsung
menembakkan pistol ke arah komandan Jepang tersebut
hingga
tewas.
Mengetahui terjadi insiden, sebagian prajurit Jepang keluar dari kereta dan
menuju gerbong belakang. Maksudnya, hendak mengambil senjata api yang di simpan
di sana. Hanya saja keburu ditahan para pejuang yang telah mengepung. Karena tentara Jepang tidak bersenjata, sehingga
dengan mudah dilumpuhkan oleh para pejuang yang bersenjatakan bambu runcing,
golok, parang, dan senjata tajam lainnya. Meskipun ada yang sempat melarikan diri
dan terjadi baku tembak namun semuanya dapat ditangkap kembali.
Karena terdapat perlawanan, membuat sejumlah rakyat sekitar
berduyun-duyun datang untuk mengetahui lebih lanjut.
Rakyat dan anggota BKR yang masih memendam rasa marah dan dendam
terhadap perlakuan tentara Jepang yang begitu kejam saat itu, menggelandang
tawanan ke Kali Bekasi. Prosesi yang berlangsung hingga siang menjelang sore
itu menewaskan seluruh tentara Jepang. Jenazahnya diceburkan ke Kali
Bekasi. Saat itu juga Kali Bekasi menjadi merah. Sebelum dilakukan pembantaian mereka
dikumpulkan di sebuah rumah (sekarang sebagai tempat pegadaian, seberang
monumen).
Salah satu dampak dari peristiwa ini adalah pasukan di bawah
Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapatkan rampasan senjata yang cukup banyak
guna menghadapi pertempuran di kemudian hari. Dampak lainnya adalah Pemerintah RI mendapat
teguran keras dari pihak Jepang. Perwira tinggi Jepang yang melakukan protes
adalah Laksamana Maeda. Pemerintah kemudian diwakili oleh Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Polisi RI bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto
lantas menghadap Maeda di Kebon Sirih 80, Jakarta.
Dalam nada sangat marah, Maeda menanyakan legalitas tentara mereka dibantai. Dia kemudian mengatakan
bahwa kejadian tersebut dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak
memiliki pendirian yang teguh. Setelah
panjang lebar dan nada tinggi, Soekanto kemudian menjawabnya dengan tenang. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa
Bekasi merupakan
daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia. Mereka pun sudah mencoba menolong serdadu
Jepang, namun tetap saja gagal.
Sebenarnya tidak hanya Bekasi yang seperti
itu, hampir setiap daerah di Indonesia belum patuh terhadap perintah Republik
Indonesia. Mereka bergerak masing-masing. Dan itu juga yang membuat Sukarno
berkeliling untuk menegaskan kepatuhan dan meminta kepercayaan rakyat kepada
pemerintah dengan mengikuti setiap perintah dari pemerintah pusat.
Lalu setelah agak tenang, Maeda memberikan
catatan bahwa harap kejadian di Bekasi adalah yang terakhir. Pemerintah harus
mengantisipasinya agar kejadian serupa tidak terjadi lagi baik di Bekasi maupun
daerah lainnya.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap insiden tersebut dan menenangkan rakyat, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di
depan rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang
dari Pemerintah RI. Jangan
mengulangi peristiwa itu lagi dan melarang keras para pejuang maupun rakyat untuk melakukan
upaya-upaya mengganggu
perjalanan kereta api.
Peristiwa ini pula yang menjadi salah satu
pertimbangan perlunya dilibatkan pihak Indonesia dalam usaha mengirimkan para
tentara Jepang dan interniran pulang.
Beberapa hari kemudian, masyarakat sekitar digegerkan dengan isu berkeliarannya arwah penasaran 87 serdadu itu. Terutama di sekitar kali dan jembatan dengan
kepala yang terpenggal. Isu itu sempat memengaruhi rakyat
Bekasi (termasuk anggota TKR dan laskar) hingga begitu memasuki malam, Bekasi
menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah.
Hingga saat ini peristiwa itu masih dikenang oleh
warga Jepang dengan melakukan ritual tabur bunga tiap tahunnya. Ada yang menafsirkan bahwa monumen samping Kali
Bekasi tersebut adalah simbol perdamaian dan cinta
kasih, namun tidak sedikit yang menafsirkan sebagai bentuk perlawanan, patriotisme, dan perjuangan rakyat Bekasi.
Sumber:
Endra Kusnawan. Sejarah Bekasi, 2016, hlm: 275 - 280
Tidak ada komentar untuk "Insiden Tepi Kali Bekasi"
Posting Komentar