Sejarah Islam Masuk Di Bekasi
Bekasi
saat itu merupakan daerah yang pelabuhannya merupakan pelabuhan internasional. Hal
tersebut tentu saja membuat interaksi dengan masyarakat luar tidak bisa
dielakkan. Termasuk datangnya pedagang dari Timur Tengah jauh sebelum Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. hadir ditengah-tengah masyarakat.
Saat
Agama Islam telah menyebar luas di Timur Tengah, membuat para pedagang yang
beragama Islam tersebut pun turut menyebarkannya ke kawasan Asia Tenggara. Dari hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia”
pada 17-20 Maret 1963 di Medan yang banyak dihadiri oleh Sejarawan, ulama,
antropolog, maupun budayawan. Diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 masehi)
yang dibawa dari Tanah Arab. Agama Islam kemudian disebarkan oleh para pedagang
dan juga ulama yang saat itu memang telah sering berinteraksi dalam perdagangan
di Pulau Jawa. Dimulai dari orang Islam yang telah hadir di nusantara sekitar
tahun 638. Meskipun telah hadir, tetapi masyarakat lokal belum memeluk agama Islam.
Mereka masih memeluk agama Hindu, Budha, atau kepercayaan lainnya. Lalu
orang-orang dari tanah Arab dan sekitarnya membuat pemukiman di sekitar pantai
utara pulau Jawa.[1] Kemungkinan besar yang dimaksud
adalah daerah pelabuhan Bekasi dan Kalapa yang dikuasai oleh Tarumanagara saat
itu. Pada tahun tersebut, diperkirakan sejaman dengan masa khalifah yang kedua,
Umar bin Khattab (634 - 644 M).
Keberadaan Islam sendiri semakin kuat
secara politik saat Raja Sriwijaya Sri
Indrawarman
yang juga menguasai Bekasi mengirimkan surat ke Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720) untuk menerangkan Islam ke kerajaannya. Surat didokumentasikan oleh Abd Rabbih dalam karyanya Al-Iqdul
Farid.
"Dari raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan
ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun
binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua
sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis,
yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Islam yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain
selain Allah.
Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa
sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya."
Tatkala
mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya
tersentuh hidayah. Raja Sri Indrawarman, akhirnya mengucap dua kalimat syahadat
dan menjadi seorang Raja Islam.
Lambat laun, masyarakat Melayu pun turut
masuk Islam. Termasuk masyarakat Melayu yang berada di Bekasi dan Kalapa.
Inilah tahapan awal Islam masuk di
Bekasi.
Dari abad ke-7 hingga abad ke-14,
praktis Islam tidak berkembang di nusantara. Selama sekitar 700 tahun
orang-orang Islam dari tanah Timur Tengah, India, maupun Cina yang melakukan
dakwah di seluruh nusantara tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Bisa jadi
karena strategi dakwah yang kurang tepat.
Hingga kemudian datanglah masa para
ulama yang dinamakan dengan Wali Songo pada awal abad ke-15 melakukan
dakwahnya. Dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan pedahulunya.
Melalui strategi “menarik simpatik”, membuat hanya dalam waktu 100 tahun saja,
hampir semua daerah Jawa telah menjadi muslim rakyatnya. Proses perkawinan
antara budaya setempat dengan nilai-nilai Islam ternyata membuat rakyat maupun
penguasa beralih dari agama terdahulunya. Selain itu juga dakwah tersebut dilindungi oleh kekuatan politik yaitu dari Kesultanan Demak dan berlanjut oleh kesultanan lain seperti Cirebon dan Banten.
Untuk daerah pesisir utara derah barat
Pulau Jawa, khususnya dari Jakarta hingga Karawang, terdapat tokoh penyebar
agama Islam yang cukup diperhitungkan. Dialah Syekh Hasanuddin, anak dari ulama besar
Mekah, Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkan Agama Islam di negeri Campa
(sekarang Kamboja), yang datang sekitar tahun 1416-1419 di daerah
Tanjung Pura Karawang. Bersama murid-muridnya, dia menyebarkan Agama Islam ke seluruh
wilayah Kerajaan Sunda, termasuk Bekasi dan sekitarnya.
Dia datang bersama rombongan Laksamana
Cheng Ho (seorang petinggi muslim dari Cina) dari Dinasti Ming yang sedang
melakukan ekspedisi kelimanya menuju Kerajaan Majapahit, yang saat itu dipimpin
oleh Raja Wikramawardhana (1389-1427), dengan 63 buah kapal,
27.800 prajurit, dan kru kapal.
Makam yang diyakini sebagai makam Syekh Quro di Karawang. |
Saat transit di daerah Karawang, tepatnya
di Tanjung Pura, Syekh Hasanuddin meminta izin kepada Laksamana Cheng Ho untuk
tetap tinggal dan tidak melanjutkan perjalanan. Sedangkan rombongan Cheng Ho
tetap melanjutkan perjalan. Pelayaran itu sendiri berlangsung sejak 1416-1419 dengan
menyinggahi ke berbagai negara.[2]
Syekh Hasanuddin, karena kemampuannya
menguasai ilmu Al Quran, hafiz Quran, memiliki suara yang merdu dalam membaca
Al Quran, dan berdakwah dengan pengajian Al Quran, kemudian dikenal dengan
sebutan Syekh Quro. Bagi masyarakat Cirebon, Indramayu, Banten, dan termasuk
Karawang, nama Syekh Quro begitu harum dan melegenda.
Setelah beberapa lama kemudian, Syekh Quro
menikahi Ratna Sondari, putri penguasa daerah Tanjungpura, Ki Gendeng Karawang.
Atas izin dari mertuanya, Syekh Quro mendirikan pesantren bernama Pondok Quro
di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian
menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, yang kemudian menjadi istri kedua dari
Prabu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) saat sebelum menjadi Raja Pajajaran
(1482-1521).[3]
Melalui Syekh Quro dan murid-muridnya
Islam menyebar ke tanah Sunda. Penyebaran tersebut semakin luas saat Raden
Sengara (lebih dikenal dengan sebutan Kian Santang), putra dari Nyi Mas Subang
Larang dan Prabu Siliwangi, ikut melakukan penyebaran agama Islam ke wilayah
pesisir utara, yaitu Sunda Kelapa dan Bekasi. Inilah
yang menjadi tonggak kedua Islam
masuk ke Bekasi. Penyebaran Islam pun semakin intensif
saat Bekasi masuk ke wilayah Kerajaan Sumedanglarang.
Pada masa ini
pula Syeikh Siti Jenar membangun sebuah dukuh sebagai pusat pembelajaran dan
penyebaran Islam. Di dalamnya terdapat masjid dan penginapan bagi para santrinya. Dukuh tersebut dia
namakan Dukuh Lemahabang. Pembangunan Dukuh Lemahabang di Bekasi bersamaan
dengan pembangunan Dukuh Lemahabang di Karawang yaitu pada sekitar Februari
1492. Pembangunan kedua dukuh tersebut dilakukan setelah Syeikh Siti Jenar
sukses membangun di Cirebon untuk yang pertama kali. Total terdapat sekitar 8
Dukuh Lemahabang yang dibangun oleh Syeikh Siti Jenar di Pulau Jawa guna
menunjang syiar Islam di tanah Jawa.[4]
Periode ketiga penyebaran Islam di tanah Bekasi berlanjut melalui
keluarga besar Kesultanan Banten. Dalam hal ini dibagi menjadi tiga periode, yaitu ketiga a dimulai sejak Fatahillah menguasai
Sunda Kelapa di tahun 1527. Meskipun saat itu masyarakatnya sudah banyak yang masuk
Islam. Hal ini dipertegas oleh pendapat Sejarawan Ridwan Saidi. Menurutnya,
penguasa pelabuhan Sunda Kelapa saat itu, Wak Item, sudah masuk Islam. Tidak hanya dia, penduduk asli juga sudah
banyak yang masuk Islam.[5] Kemungkinan besar keislaman mereka berasal dari keturunan
masyarakat Sriwijaya yang pernah bermukim di Jakarta dan sekitarnya.
Meskipun
begitu, melalui era Fatahillah yang menguasai pelabuhan Sunda Kelapa selama hampir 100 tahun, penyebaran Islam di sekitar Jayakarta semakin gencar. Bahkan,
saat Pelabuhan Kalapa dikuasai VOC pada 30 Mei 1619, Kadipaten Jayakarta tetap
ada, hanya keratonnya tidak di Pelabuhan Sunda Kalapa, tetapi pindah lebih ke arah selatan, atau lebih
tepatnya di sekitar Jatinegara Kaum. Dari sana mereka tetap melakukan perlawanan terhadap VOC
dan melakukan penyebaran Agama Islam.
Sedangkan anak Pangeran Jayakarta, Pangeran
Senapati, diperintahkan untuk melarikan diri sekaligus
membangun pertahanan di kawasan pesisir dan pedalaman serta menyebarkan syiar
Islam. Pangeran Senapati bersama pengikutnya
menyusuri ke berbagai
tempat. Mulai dari pantai utara Jawa yang melewati daerah Cabangbungin,
Batujaya, Pebayuran, Rengas Bandung, Lemahabang, Pasir Konci hingga sampai di
sebuah kawasan hutan jati yang kini dikenal sebagai Kecamatan Cibarusah di
Kabupaten Bekasi.
Ditempat itulah kemudian Pangeran Senapati dan
pengikutnya menetap dan menyebarkan Islam di Cibarusah dan sekitarnya.
Peninggalan yang masih dirasakan hingga saat ini adalah Masjid Al Mujahidin di
Kampung Babakan Cibarusah (KBC). Di kampung tersebut, keturunan
Pangeran Senapati dan bangsawan yang pergi bersamanya masih ada dan tetap menggunakan
gelar kebangsawanan hingga kini. Makam Pangeran Senapati berada di Kampung Babakan Cibarusah dan dikenal
dengan sebutan Makam Mbah Uyut Sena.
Kami sedang berpose di depan Masjid Al Mujahidin, Cibarusah |
Masjid Al Mujahidin tampak muka |
Pada periode ketiga b, terdapat sejumlah tentara dan
keluarganya dikirim oleh Sultan Abdul Mufakhir dalam rangka menguasai daerah sekitar Citarum.
Mereka diperintahkan untuk membuat pemukiman sebagai dalih perebutan daerah
kekuasaan yang dipimpin oleh Pangeran Pager Agung pada tahun 1624. Meskipun
berhasil dikalahkan Mataram di tahun 1632, namun banyak dari mereka yang tidak
balik ke Banten. Selain itu juga mereka telah cukup lama tinggal, sehingga
dakwah Islam kemungkinan turut mereka lakukan.
Estafet dakwah Islam berlanjut saat Sultan Ageng Tirtayasa (Penguasa Banten 1651-1683) dan anaknya
Pangeran Purbaya ditangkap oleh VOC akibat kalah perang dan ditahan di Batavia.
Ini saya sebut ketiga c. Mereka bersama keluarga dan pengikutnya awalnya ditempatkan di
dalam lingkungan benteng Batavia, namun kemudian keluarga dan pengikutnya
diberi tempat pemukiman di sekitar Jatinegara dan beberapa tempat lainnya
seperti di Cilincing. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, dan Pangeran
Sake tetap di dalam benteng.
Dari sekitar
Jatinegara tersebutlah kemudian para pengikut dan keluarga Sultan Ageng
Tirtayasa menyebar dan mendakwahkan Islam. Diantara keluarga sultan adalah
Syekh Sarifudin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kandong. Dia dan
pengikutnya menyebarkan Islam di daerah Jatiasih dan sekitarnya. Makamnya yang
terletak Desa Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, dekat perumahan Duta Indah Kota
Bekasi, hingga hari ini kerap diziarahi.
Ada juga
Pangeran Sageri yang merupakan anak dari Sultan Ageng, dan keturunannya. Diantaranya adalah Raden Sholeh dan Raden Umar yang ikut berdakwah. Sedangkan
Pangeran Purbaya beserta keluarganya sebelum ditangkap menetap di daerah
Cileungsi. Dari situ lalu bersama pengikut dan keluarganya menyebar ke daerah
Cibarusah dan sekitarnya. Sebelumnya, di Cibarusah sendiri Islam telah disebarkan oleh anak dari
Pangeran Jayakarta, Pangeran Senapati.
Sehingga tak pelak daerah selatan Bekasi
banyak yang masih keturunan Banten, baik dari garis keluarga sultan, petinggi
kesultanan, tentara, maupun rakyat biasa. Ciri dari keturunan Kesultanan Banten
adalah masih terdapat nama Raden atau Ratu di depan nama atau dipanggil dengan
sebutan “Aca”.
Ditahun
1890, dipusat kota Bekasi, dibangun sebuah Masjid Agung Al Barkah di sebuah
tanah wakaf Haji Barun, seluas 3000 m2 yang terletak di
jalan Veteran
(Alun-Alun Kota Bekasi).[6] Kemudian pada tahun 1915, Raden Latif dan Raden
Kahfi yang berasal dari Sukaraja Cileungsi Kabupaten Bogor mendirikan Masjid Syiarul Islam, dekat Stasiun Kereta Lemahabang, sebagai tempat
menyebarkan agama Islam di Lemahabang.[7] Juga tidak jauh dari lokasi stasiun kereta, terdapat
bangunan masjid di Tambun yang kini bernama Masjid At Taqwa. Lalu Masjid Al Arief, yang posisinya tidak jauh dari
Stasiun Bekasi. Kedua Masjid itu sendiri tidak diketahui pasti kapan
berdirinya. Tetapi yang pasti dalam peta buatan Belanda di tahun 1915, keduanya
sudah ada.
Masjid Masjid Agung Al Barkah sebelum di renovasi besar-besaran pada tahun 2004. |
Penyebaran Islam pun semakin marak setelahnya. Apalagi setelah sejumlah masyarakat yang pulang menimba ilmu di Mekah atau di pondok pesantren. Inilah yang disebut era keempat. Misalnya saja hadirnya Guru Marzuki bin Mirshod (1877-1934) awal abad 20 di Cipinang Muara yang merupakan alumnus Makkah. Seorang ulama yang dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi." Sebab dari dia, banyak ulama Betawi, termasuk yang asal Bekasi yang belajar agama. Kemudian dari mereka membuat perguruan sendiri dimana mereka tinggal. Dalam satu keterangan ada sekitar 41 ulama Betawi terkemuka bahkan lebih. Di antaranya adalah KH. Abdullah Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah), KH. Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah), KH. Noer Alie (pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi), KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Al-Wathoniyah, Klender), KH Ahmad Zayadi Muhajir (pendiri perguruan Az-Ziyadah), KH. Mahmud (pendiri Yayasan Perguruan Islam Al Mamur/Yapima, Cikarang), KH. Muchtar Thabrani (pendiri YPI An Nur, Bekasi), dan KH. Muhammad Tambih Kranji Bekasi .
Ada juga dakwah Islam yang dilakukan melalui organisasi. Yang awal dan cukup fenomenal adalah Sarekat Islam (SI) cabang Bekasi pada Mei 1913. SI diketuai oleh Raden Haji Hidayat. Meskipun ada turut campur politik membuat SI menjadi pecah yaitu yang diketuai oleh Haji Abdoelrachim dan lainnya oleh Haji Ibrahim. Organisasi ini pun tidak bertahan lama, tidak sampai 5 tahun hingga benar-benar hilang. Namun dampak hadirnya begitu terasa. Banyak rakyat Bekasi yang kembali mempelajari Islam. Masjid-masjid pun tumpah ruah saat pelaksanaan shalat, terutama shalat Jumat yang bisa mencapai 1000 persen jamaahnya jika dibandingkan dari sebelum ada SI. Sejumlah acara keagamaan pun kembali marak.
Lalu hadir Raden Haji Sulaeman yang mendirikan Muhammadiyah di Kranji pada tahun 1928. Setahun kemudian hadir dua lembaga pendidikan yang masih dibawah naungan Muhammadiyah yaitu HIS Metden Qur’an dan Schakel Scool.[8] Lalu ada KH. Muhammad Fudholi asal Sukabumi pada tahun 1932 yang mendirikan Madrasah Jannatul Amal di depan Stasiun Cikarang. Lalu berkembang dengan pendirian cabang di beberapa tempat.[9]
Lembaga Pendidikan Jannatul Amal yang tinggal plank nama saja |
Ada juga KH. Noer Ali (1914-1992) selepas menimba ilmu selama enam tahun di Mekah langsung membuat kelompok pengajian pada 1940 di kampung halamannya Ujung Malang (sekarang Ujung Harapan). Melalui jaringan Yayasan At Taqwa, syiar Islam semakin menyebar di daerah utara Bekasi. Seperti daerah Kaliabang, Babelan, Tarumajaya, Sukawangi, Tambun Utara, dan daerah lainnya. Yayasan At Taqwa sendiri hingga saat ini mengelola sekitar 149 lembaga pendidikan yang diantaranya mencakup 36 TK, 62 MIA, 1 SDIT, 23 MTs, 13 SMP, 7 MA, 3 SMU, 1 STM, 1 SMK, Pesantren Tinggi At Taqwa (PTA) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).[10]
Masjid At Taqwa yang merupakan bagian dari komplek Pondok Pesantren At Taqwa pada tahun 1980-an |
Di daerah Kampung Pulomurub Kecamatan
Tambelang terdapat Pondok Pesantren Al Hidayah yang didirikan oleh KH. Nawawi El Marzuki (1919 – 2000) pada tahun 1940.
Cucu-cucunya yaitu H. Ahmad Najiyulloh, LC, KH. Nabhani Idris, LC,
dan KH. Hidayattulloh Nawawi BA. pada
tahun 2002 mendirikan dan mengasuh
Pondok Pesantren (Islamic Boarding School) Umar
bin Khatthab. Letak ponpes tidaklah
berjauhan.[11]
Pengaruh KH. Nawawi El Marzuki
tidak hanya di daerah Tambelang saja, tetapi juga sampai ke daerah Sukatani,
Pebayuran, Sukakarya, Cabangbungin, dan daerah lainnya
KH. Muchtar Tabrani (1901-1971) mendirikan Pondok Pesantren Kaliabang Nangka, kelak berubah
menjadi Pondok Pesantren An Nur, pada tahun 1950. Dia mendirikan pesantren
setelah pulang dari Mekah untuk belajar agama selama 13 tahun. Bersama KH. Alawi, KH, Asmawi,
KH. Anwar, KH. Abdullah, Guru Asmat, dan Guru Jenih lalu mendirikan Pondok Pesantren.[12]
Kemudian ada KH. Raden Ma’mun Nawawi (1915-1975) yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Baqiyatussholihat di Cibarusah, tepatnya pada bulan
Rajab 1359 H/1938 selepas pulang
belajar dari beberapa pesantren dan terus berlanjut ke Mekah. Awalnya, dia
belajar dikampungnya di Cibogo, lalu berlanjut ke Pesantren Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di
Plered, Sempur, Purwakarta. Setelah itu ia lanjutkan
studinya ke Mekah dengan berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya
adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid
al-Bogori. Setelah pulang,
dilanjutkan lagi belajar di Pesantren KH. Hasyim
Asy’ari di Jombang, Jawa Timur, Pesantren Syekh Ihsan Jampes (Pengarang Kitab Siraj al-Thalibin) di Kediri, hingga pesantren Syekh Mansyur (pengarang Sulamal-Nairen) di Jembatan Lima,
Jakarta. Ada sekitar 63 kitab yang berhasil
ditulisnya. Kitabnya hingga sekarang masih digunakan oleh banyak ulama sebagai
rujukan dan dipelajari oleh para santri diberbagai tempat.[13]
KH. Raden Ma’mun Nawawi (1915-1975) |
oleh:
Endra Kusnawan
Buku Sejarah Bekasi; Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini. Herya Media, Depok 2016. Hal: 79-89.
Endra Kusnawan
Buku Sejarah Bekasi; Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini. Herya Media, Depok 2016. Hal: 79-89.
[1]Ahmad Jelani Halimi. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd. Selangor, 2008, hlm. 156-168
[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Cheng_Ho
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja
[4]Ending
Hasanudin. Sejarah Lemahabang Kabupaten
Bekasi: Nama Religi dan Histori Kini Pupus dan Terhapus, Kota Perjuangan antara
Karawang – Bekasi. Bekasi, 2015, hlm. 26-28.
[5]https://hurahura.wordpress.com/2010/06/23/kado-buat-jakarta-mengungkap-kebenaran-sejarah-tanggal-lahir-kota-jakarta/
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Al-Barkah_Bekasi
[8]http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-4210-detail-sejarah-berdirinya-muhammadiyah-kota-bekasi-bagian-pertama.html
[9]
http://alunskycicau.blogspot.com/2010/11/sejarah-singkat-kh-muhammad-fudholi.html
[10]http://gepista915.blogspot.com/
[11]http://ponpesumarbinkhatab.blogspot.com/2014_07_01_archive.html
[12]http://annur51.webs.com/profilpendiri.htm
[13]http://www.muslimedianews.com/2014/06/kh-r-mamun-nawawi-ahli-falak-bekasi.html
wah baru tahu bekasi ada kumpulan pencita sejarahnya.
BalasHapusminat donk, tolomg kita sharring hubungi nomor saya 089530418454
Adittya Zulkarnaen, S.Pd
alumnus Pendidikan Sejarah