Pemberontakan Petani Di Tambun

Kesewenang-wenangan tuan tanah dan antek-anteknya terhadap rakyat kecil makin menjadi. Penyerobotan tanah, pengambilan paksa, pemerkosaan, pencurian, penggelapan uang, dan kekerasan yang merajalela merupakan bagian hidup sehari-hari. Ketika hukum melakukan tebang pilih dan aparat menikmati korupsi, membuat timbulnya benih kebencian dan upaya perlawanan dalam diri rakyat terhadap tuan tanah.  
Hadirnya Ba Rama, yang kemudian menyebut dirinya Pangeran Alibasa, menjadi oase tersendiri bagi masyarakat. Dia merupakan seorang petani dari Kuningan (Residensi Cirebon) yang pernah tinggal di Gabus (Bekasi) pada tahun 1866. Setelah tiga tahun, kemudian dia pindah Leuwi Catang, Cibarusah (saat itu masuk Bogor) dan baru menetap di Ratu Jaya (Depok).
Perlawanan rakyat kecil tersebut bermula saat di Leuwi Catang, Ba Rama berkenalan dengan Arpan yang saat itu hendak ke Cipamingkis. Arpan menceritakan bahwa dirinya diminta oleh Ayahnya, Haji Arsad (Rawa Bangke, Bekasi), untuk menemui Amboe Maria di Cipamingkis. Menurutnya, Arpan mempunyai hak atas tanah Cipamingkis berdasarkan lempengan tembaga bertulisan yang saat itu berada di tangan Amboe Maria.[1]
Bersama Ba Kollot yang merupakan orangnya Raden Saleh, Ba Rama dan Arpan menuju Solo dengan membawa lempengan tembaga tersebut. Mereka meyakini bahwa lempengan tersebut sebagai bukti bahwa mereka adalah pemilik yang sah atas tanah Cipamingkis. Setelah dipelajari oleh Raden Saleh, ternyata lempengan tembaga yang dibawa tidaklah memberi makna kepemilikan tanah. Raden Saleh merupakan tokoh seniman yang cukup disegani baik oleh Belanda maupun pribumi. Saat itu dia memang sedang mencari barang-barang antik untuk koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.[2]
Setelah balik dari menemui Raden Saleh, Ba Rama dan Ba Kollot mempunyai rencana untuk merebut tanah Cipamingkis dan juga tanah antara Kali Citarum dan Kali Cisadane dari para tuan tanah. Kemudian Ba Rama melakukan manipulasi ke rakyat agar mendapat dukungan, bahwa dirinya didukung penuh oleh Raja dari Solo. Untuk membuktikannya, dia berangkat ke pada Juni 1868 bersama Ba Kollot, yang memang saat itu Ba Kollot dipanggil oleh Raden Saleh untuk ke Solo.
Setelah balik dari Solo pada Desember 1868, Ba Rama semakin gecar melakukan pendekatan ke sejumlah tokoh masyarakat. Dirinya menjelaskan bahwa dia merupakan orang yang berhak atas semua tanah-tanah tersebut. Jika berhasil direbut, para pendukungnya akan mendapatkan pembagian tanah yang sangat luas masing-masingnya. Sedangkan dia sendiri memegang pucuk pemerintahan atas semua tanah yang direbut.
Puncak agitasi Ba Rama dilakukan di pesta pernikahan adik iparnya di Ratu Jaya pada 14-17 Maret 1869. Dirinya mengenalkan diri sebagai Pangeran Alibassa, Ba Kollot memakai nama Raden Saleh, serta sejumlah kawanannya. Ba Rama meramal bahwa pada 3 April 1869 akan terjadi gerhana total selama 7 hari, dan itulah saat yang tepat untuk melakukan penyerangan terhadap tuan tanah.[3]
Ada tiga tempat yang rencananya akan dilakukan secara serentak, yaitu Tambun, Depok, dan Bogor. Tambun akan diserang dibawah pimpinan Ba Selan, Ba Toenda, Raden Moestapha, Dries dan Ba Djieba. Kemudian bergerak ke Bekasi dan terus berlanjut ke Meester Cornelis melalui Teluk Pucung dan Kali Abang. Di sana, nanti akan ditunggu oleh Ba Rama untuk bersama-sama merebut Batavia, setelah yang dari Depok dan Bogor berhasil. Selain Ba Rama, terdapat juga tokoh-tokoh lainnya yang ikut bergabung, seperti Ba Selan, Raden Moestapha, Dries, Ba Djieba, Djoengkat Ba Nata, Ba Kollot, Pioen, Ba Toenda, dan Adiarsa.[4]
Untuk di Tambun, yang diserang adalah rumah Tuan Tanah keturunan Cina bernama Ba Bairah. Alasannya adalah karena sang tuan tanah dan anteknya banyak melakukan penindasan terhadap penduduk. Namun terkesan dibiarkan saja oleh aparat hukum. Mulai dari pencurian kerbau, pinjaman uang dengan bunga hingga 50%, mengambil cukai yang semena-mena, dan anak laki-lakinya sering memperkosa gadis-gadis sekitar.[5] Sehingga, akan lebih mudah dalam mengajak untuk melakukan perlawanan.
Asisten Residen Meester Cornelis E.R.J.C. de Kuijper baru menerima berita dari kepala polisi Bekasi F. Maijer pada hari Jumat, 2 April 1869. Dilaporkan bahwa terdapat sejumlah orang yang dicurigai dan berencana menyerang rumah Ba Bairah di Tambun. Sore harinya, Kuijper langsung berangkat menuju Bekasi dan tiba pada pukul 22.00 untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.[6]
Pukul 2 pagi, Kuijper mendapatkan informasi bahwa terdapat 50 orang tengah berkumpul di Cimuning untuk menyerang Tambun dipagi harinya. Saat itu juga dia bersama Kepala Polisi Maijer, Jaksa Raboeding, dan beberapa opas menuju ke rumah Ba Bariah. Setelah melakukan kordinasi, kemudian kepala-kepala kampung disekitar dipanggil dan diperintahkan mengumpulkan orang sebanyak mungkin di rumah Ba Bariah untuk mempertahankan Tambun. Pada pukul 7, terdapat sekitar 70 orang telah berkumpul. Sedangkan dari pemberontak mencapai 100 orang yang bergerak dari rumah Nongsan di Cimuning (masuk daerah Bogor yang berbatasan dengan Tambun), dan terus bertambah dalam perjalanan.[7]
Saat mencapai di rumah Dries di Kali Jambi, mereka berhenti sejenak untuk diberikan sejumlah mantra dan jampe-jampe. Sekitar pukul 8.30, sebanyak 260 orang kurang lebihnya, bergerak menuju Tambun. Dengan berbagai macam senjata tajam dan diiringi genderang gendang dan suling, juga sejumlah kalimat untuk menumbuhkan semangat. Setelah sampai di pekarangan Ba Bariah yang telah penuh dengan penghalang dan pendukungnya, Kuijper berusaha mengajak dialog dengan pimpinan pemberontak. Namun tidak berhasil. Mereka justru terus masuk menyerbu dengan menyingkirkan beberapa penghalang di gerbang dan jalan.[8]
Dari dalam rumah, senjata-senjata pun memuntahkan peluru. Meriam kecil juga ikut menembak ke arah pemberontak. Tetapi itu semua tidak dapat membendung serangan yang begitu deras. Hingga kemudian Kuijper, Maijer, anak buah Ba Bairah (Goendoel, Kongsan, Ba Djaleha, Rasimoen), anak Ba Bairah (Goedang), Opas Djapeng, dan dua orang pemberontak tewas. Dokter Aminoelah yang saat itu bertugas di Tambun juga ikut tewas karena ikut melakukan perlawanan. Rumah Ba Bariah dan lumbung padinya hangus dibakar.[9]
Jaksa Raboedin sendiri melarikan diri ke Bekasi untuk kemudian melaporkan kejadian melalui telegram kepada Residen Batavia Hoogeven dan Gubernur Jenderal Pieter Mijer. Tidak hanya itu, Raboedin juga memberitahukan kepada Asisten Residen Bogor Samuel Jean Wilhelm van Musschenbroek dan Komandan Afdeling untuk dimintakan bantuan satu kompi Infanteri.
Sedangkan pasukan pemberontak, sesuai rencana menuju Bekasi untuk melepaskan tahanan. Namun tidak jadi karena ada kabar telah ada pegerakan militer menuju Bekasi untuk menghalau mereka. Pemberontakpun berbelok ke arah Teluk Pucung menuju kediaman Raden Sengkong melalui Kedung Gedeh dan Karang Congok. Dalam perjalanan, satu persatu pasukan melarikan diri, hingga tersisa sekitar 180 orang ketika sampai pada sekitar pukul 14. Saat melalui Kali Abang, pasukan pemberontak kembali bertambah menjadi 300 yang berasal dari warga sekitar. Mereka dipaksa suka atau tidak suka untuk melawan pemerintah.[10]
Menjelang magrib, ketika sedang menunggu tambahan pasukan untuk kemudian menuju Meester Cornelis, mereka pun dikepung oleh pihak militer yang dipimpin oleh Kapten Stoecker. Pemberontak sendiri saat mendengar deru derap militer menuju mereka, sudah satu persatu melarikan diri. Bahkan ketika yang tersisa tersebut dikepung, mereka juga tidak melakukan perlawanan. Mereka meletakkan senjata dan ditangkap. Sedangkan para pimpinannya telah melarikan diri, meskipun berhasil ditangkap. Sebanyak 162 orang pemberontak dan sejumlah senjata tiba di Bekasi pada pukul 10 malam.[11]
Setelah sempat buron, Ba Rama atau Pangeran Alibasah akhirnya diringkus polisi pada 17 Juni 1869. Dalam catatan penyelidikan yang berakhir pada Agustus 1869, diketahui bahwa dari 302 yang ditangkap, 243 orang dibebaskan. Karena mereka terbukti dipaksa ikut menyerang Tambun atau bergabung saat di Kali Abang. Sebanyak 59 orang ditetapkan sebagai terdakwa, namun delapan orang meninggal sebelum sidang dan dua orang saat sidang, termasuk Ba Rama. Dalam sidang pengadilan pada 29 Desember 1869 dinyatakan bahwa 29 pelaku divonis hukuman mati, 19 terdakwa dihukum 15 tahun kerja paksa. Adapun Djoengkat Ba Nata dibebaskan, karena sakit jiwa.[12]
Dampak dari peristiwa tersebut cukup menghebohkan. Isu yang berkembang menyatakan bahwa semua warga Eropa akan dibunuh oleh masyarakat lokal. Hal ini tentu saja meresahkan bagi keluarga petugas pemerintah, pengusaha, atau pegawai dari Kerajaan Belanda di sekitar Batavia. Untuk itulah, polisi dan pemerintah dengan cekatan mengatasi para pelaku.[13]
Eksekusi di alun-alun Bekasi terhadap pelaku pemberontakan di Tambun pada 3 April 1869. Sumber: KITLV 

Dalam foto tersebut memperlihatkan delapan orang sedang digantung
siang hari pada Rabu, 24 Agustus 1870. Mereka merupakan bagian dari 29 orang yang didakwa mati. Lokasi terletak di alun-alun Bekasi. Eksekusi ditonton oleh para pejabat Belanda dan pribumi, polisi, tentara, hakim, jaksa, tuan tanah dan anak buahnya, dan masyarakat. Sebagai cara guna memberikan contoh kepada masyarakat konsekuensi jika melakukan pemberontakan.
Pada sebelah kanan dan kiri terdapat 29 terdakwa mati lainnya yang ikut menyaksikan sambil memegang sesuatu berwarna putih. Dileher mereka juga dikalungkan tali yang ujungnya diikat pada sebuah kayu yang memanjang, sehingga seolah-olah mereka juga ikut digantung pada saat itu.

Peristiwa yang cukup menghebohkan tersebut ternyata sampai media di Australia, The Sydney Morning Herald edisi Sabtu, 12 Juni 1869 dan diberitakan ulang pada 21 Juni 1986. Juga oleh The Mercury yang terbit pada Senin 21 Juni 1986.
Dalam berita disebutkan bahwa dalam kerusuhan, rumah dan gudang padi Ba Bairan dibakar oleh massa. 

oleh:
Endra Kusnawan
Buku Sejarah Bekasi; Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini. Herya Media, Depok 2016. Hal: 175-180.



[1] Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 dan Laporan Asisten Residen Meester Cornleis kepada Residen Batavia tanggal 1 September 1869
[2] ibid
[3] Ibid
[4] Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870
[5] Laporan Residen Batavia kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 24 Mei 1869, Koran Bataviaasch Handelsblad tanggal 5 April 1869, Laporan Asisten Residen Meester Cornleis tanggal 1 September 1869.
[6] Surat Kepala Polisi Bekasi F. Maijer kepada Asisten Residen Meester Cornelis tanggal 2 April 1869 No. 012 dan Surat Asisten Residen Meester Cornelis kepada Residen Batavia 2 April 1869
[7] Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870, loc.cit
[8] Politik verslag 1869, Laporan Residen Batavia 24 Mei 1869 dan 5 Agustus 1870.
[9] Schouwing Rapport, Kabinet 13 Mei 1869
[10] Laporan Residen Batavia 24 Mei 1869 , loc.cit
[11] Politik verslag 1869, Laporan Residen Batavia 24 Mei 1869 dan 5 Agustus 1870
[12] Telegram Residen Batavia kepada Gubernur Jendral Buitenzorg 3/9 1869 no 570 dan Politik verslag 1869

[13]Margreet van Till. Banditry in West Java: 1869-1942. NUS Press, Singapore  2011, hlm. 20-21.

Endra Kusnawan
Endra Kusnawan Orang yang senang belajar sesuatu hal yang baru. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit bagian ngurusin CSR. Waktu luangnya digunakan untuk berbagi pengetahuan seputar sejarah, pelatihan dan motivasi. Dalam konteks sejarah, merupakan pendiri Grup diskusi di Facebook, Wisata Sejarah Bekasi, sejak 26 Januari 2013. Juga merupakan pendiri sekaligus Ketua Komunitas Historia Bekasi sejak Agustus 2016. Bisa dihubungi 0818.0826.1352

1 komentar untuk "Pemberontakan Petani Di Tambun"

  1. Terimakasih sudah berbagi info.. Mau tanya arsip yang tentang surat surat dan laporan laporan kepala residen itu ada dimana ya? Saya ke arsip nasional tapi gak tersedia.. Terimakasih 🙏

    BalasHapus

Posting Komentar