Bekasi Kota Industri

Bekasi Kota Industri
Oleh: Endra Kusnawan

Bekasi bisa dikatakan sebagai kota industri. Tentu saja bukan tanpa alasan sebutan itu disematkan. Sebab di Bekasi terdapat ribuan pabrik yang berdiri, baik yang bergabung dalam kawasan industri maupun diluar. Dampak yang ditimbulkan pun beraneka ragam. Baik secara positif maupun negatif.
Kalau menilik ke belakang, bisa dikatakan bahwa sejarah berdirinya pabrik modern pertama kali di Bekasi adalah pabrik gula. Melalui ANRI pada dokumen RCH No. 15, 10 Mei 1721, fol. 61. Menyebutkan bahwa pada 10 Mei 1721 pengusaha Cina Kapitan Que Bouqua meminta izin ke Heemraden (lembaga VOC yang mengurus pertanahan) untuk membuka dua pabrik gula di tanahnya di Bekasi. Berikutnya, pada dokumen RCH No. 20, 15 March 1732, fol. 54 menyebutkan bahwa pengusaha Cina Letnan Ni Locqua meminta izin kepada Heemraden untuk mendirikan pabrik gula di pinggir Kali Bekasi.
Pada dokumen RCH No. 30, 24 Januari 1767, fol. 380 juga kita bisa mengetahui tentang jumlah dan pemilik dari pabrik gula yang ada saat itu. Dalam arsip tersebut dikatakan bahwa berdasar catatan Heemraden, terhadap data yang dikumpulkan sejak 11 Desember 1766 – 16 Januari 1767 bahwa terdapat 82 pabrik gula di sekitar Batavia, 12 diantaranya berada di tepi Kali Bekasi dan tiga pabrik agak menjauh dari Kali Bekasi.
Untuk yang berada agak menjauh dari Kali Bekasi terdapat di daerah Kaliabang, Kedaung, dan Teluk Buyung. Ketiganya dimiliki oleh Mr. Sander. Sedangkan untuk yang ditepi Kali Bekasi terdapat di Tanah Dua Ratus dan Teluk Angsan yang masing-masingnya terdapat dua buah pabrik yang dimiliki oleh E. Van Jansen. Lalu dua pabrik di Karang Congok milik Kou Tjan Ko. Ada lagi satu di Penggilingan Tengah, dua pabrik di Kebalen, satu di Teluk Pucung, dan dua di Penggilingan Baru. Keenam pabrik tersebut dimiliki oleh Mr. Sander. [1]
Selain di masa itu, Jessen dan Trail juga ikut mendirikan pabrik gula di Karang Congok pada 1822-1823. Tepatnya di Kampung Gabus, Tambun. Selain dari warga sekitar, pekerjanya banyak berasal dari daerah Cirebon. [2] Dan banyak dari mereka yang meski pabriknya telah tutup tetapi mereka memilih untuk tetap tinggal di Gabus daripada pulang kampung. Limbah pabriknya dibuang ke Kali Bekasi.
Untuk buruh yang berasal dari Cirebon. Diketahui bahwa ditahun 1825, Sultan Cirebon membuang penduduknya ke Bekasi dalam jumlah yang besar untuk menjadi buruh pabrik gula di Bekasi. Mereka yang dibuang merupakan penduduk yang dikenal sebagai biang masalah di daerah kekuasaan sultan. Entah karena migrasi besar-besaran pelaku kriminal ke Bekasi dari Cirebon, tetapi yang pasti sejak itu Bekasi terkenal sebagai daerah yang rawan atas aksi kriminalnya.[3]
Orang yang dibuang ke Bekasi kebanyakan pelaku kriminal. Mulai perampok, pembunuh, atau pencuri. Mereka banyak tinggal di daerah Babelan, Kebalen, Gabus, dan Pisangan. Karena memang daerah tersebut terdapat sejumlah pabrik gula, dimana mereka menjadi pekerjanya.
Pabrik gula didirikan sebagai efek dari kebutuhan gula dunia yang sedang tinggi-tingginya. Karena terdapat kebutuhan yang begitu besar dan menjanjikan secara ekonomi, ribuan hektar sawah disulap menjadi perkebunan tebu.
Ada juga pabrik penggilingan padi di Lemahabang, Michels-Arnold. Berdiri pada tahun 1920-an. Lokasinya sebelah Stasiun Kereta Lemahabang. Pabrik ini mendapatkan padi dari berbagai tempat. Termasuk dari Jonggol maupun Cibarusah yang sejak hadirnya jalur lori menjadi begitu pesat. Setelah digiling menjadi beras, kemudian disalurkan ke berbagai tempat melalui Stasiun Lemahabang.

Di era pemerintahan Suko Martono (1983-1993) Bekasi mulai menjadi kota industri ternama di Indonesia. Pembangunan yang didasarkan pada Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri dan Peraturan Daerah No. 13 tahun 1989 Jo. Peraturan Daerah No. 15A tahun 1989 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Bekasi. Ditambah lagi meningkatnya permintaan terhadap lahan industri. Membuat pemerintah menetapkan zona industri seluar ±6.000 Ha di wilayah Kecamatan Lemahabang dan Kecamatan Cibitung. Di Lemahabang meliputi Desa Sukaresmi, Cibatu, Pasirgombong, Pasirsari, dan Jayamukti. Sedangkan di Cibitung meliputi Desa Harjamekar, Danau Indah, Jatiwangi, Mekarwangi, Gandamekar, dan Gandasari.[4]
Dimulai dengan pembebasan tanah pada 1989 di wilayah Cikarang. Namun baru pada tahun 1992 wilayah ini dikembangkan dengan serius oleh para pengembang sebagai kawasan industri. Dari situ terus berkembang ke daerah lain di Kabupaten Bekasi beberapa kawasan industri. Selain itu juga tidak sedikit perusahaan yang mendirikan pabriknya di luar kawasan yang telah ada.
Dengan berdirinya kawasan industri dan banyak lagi industri di luar kawasan, membuat berjamurnya perumahan yang tumbuh. Hampir setiap saat selalu hadir perumahan baru. Pusat-pusat perbelanjaan juga tidak terbendung. Pembangunan infrastruktur pun menjadi efek yang guna menunjang aktivitas perekonomian.
Sejak itu lah wajah Bekasi berubah. Dia menjadi daerah penyangga ibu kota yang pesat. Para pendatang berduyun-duyun datang untuk menikmati pembangunan yang sedang bergeliat.
Kawasan Industri yang ada di Bekasi merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Diantaranya kawasan industri Jababeka Industrial Estate (JIE), Greenland International Industrial Center (GIIC), Delta Mas, Delta Silicon, MM2100, East Jakarta Industrial Park (EJIP), Lippo, BIIE, dan lainnya. Kawasan-kawasan industri tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional (ZONI) yang memiliki fasilitas khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal. Ditambah lagi dengan beberapa zona industri yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Tambun Selatan, Setu, Bantar Gebang, Bekasi Utara, Bekasi Barat, dan lain-lain.

Melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 466 tahun 2014, EJIP dan JIE termasuk salah satu dari 14 kawasan industri yang sebagai Objek Vital Nasional Sektor Industri (OVNI). Dengan begitu, kedua kawasan industri tersebut layak untuk mendapatkan perlindungan keamanan oleh Polri.
Setiap tahunnya, dari Kabupaten Bekasi saja, menyetorkan uang senilai Rp 38 triliun untuk pajak dari sekitar 3.000 perusahaan kepada pemerintah pusat. Tetapi ironisnya, masyarakatnya banyak yang miskin dan terpinggirkan. Penduduk asli Bekasi bahkan banyak yang hanya menjadi penonton dan tersisihkan dari hiruk pikuk geliat ekonomi industri di Bekasi.





[1]Bondan Kanumoyoso. Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740. Disertasi, Universitas Leiden, Belanda 2011, hlm. 205.
[2] Prita Wulandari. Kerusuhan Tambun 3 April 1869. Skripsi, Universitas Indonesia 1987, hlm. 14
[3] Margreet van Till. Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api. Masup Jakarta, Oktober 2018, hlm. 128.
[4] Profil Investasi Kabupaten DT. II Bekasi. Bapeda TK. II Bekasi, 1990, hlm. 8.
Endra Kusnawan
Endra Kusnawan Orang yang senang belajar sesuatu hal yang baru. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit bagian ngurusin CSR. Waktu luangnya digunakan untuk berbagi pengetahuan seputar sejarah, pelatihan dan motivasi. Dalam konteks sejarah, merupakan pendiri Grup diskusi di Facebook, Wisata Sejarah Bekasi, sejak 26 Januari 2013. Juga merupakan pendiri sekaligus Ketua Komunitas Historia Bekasi sejak Agustus 2016. Bisa dihubungi 0818.0826.1352

Tidak ada komentar untuk "Bekasi Kota Industri"