Raden Mardjuki; Pejuang yang Menjadi Camat Cibarusah Pertama
Raden Mardjuki merupakan kelahiran 10 Juni 1910 di Jonggol, Bogor. Nama lengkapnya Raden Mardjuki bin Raden Keneng Surya bin Akram bin Sayamin. Di depan nama terdapat nama Raden karena masih terdapat garis keturunan dari Kesultanan Banten. Terutama dari jalur Pangeran Sageri. Keluarga besarnya banyak yang bermukim di Jatinegara.
Saat masih usia muda, Mardjuki
menikah dengan Titi. Dari pernikahan tersebut melahirkan Raden Tjetje Soemantri.
Tetapi biduk pernikahan ini tidaklah lama. Setelah berpisah, tidak lama
kemudian Mardjuki menikah lagi dengan Suhaenah. Dengannya, terdapat empat anak
yang lahir yakni Raden Kuraesin, Raden Sujana, Raden Suganda, dan Kurnaesih.
Setelah mengetahui bahwa istrinya
meninggal saat dia dipenjara oleh Belanda, Mardjuki pun kembali menikah. Dengan
anak dari Habib Hasan bin Salim Al Athas, yakni Aminah pada tahun 1950. Dimana
dari garis ibunya Habib Hasan masih terhubung kerabat dengan Mardjuki. Jadi
sudah saling mengenal sejak kecil dengan keluarga besar Aminah.
Aminah binti Habib Hasan bin
Salim Al Athas. Merupakan keluarga yang banyak bergelut dibidang dakwah Islam. Pihak
keluarga yang terkenal yakni Habib Kwitang. Sedangkan Habib Hasan termasuk
salah seorang dari panitia renovasi Masjid Al Mujahiddin di Cibarusah pada
tahun 1937.
Dari Aminah yang kelahiran 31
Agustus 1935 di Cibarusah itu, Mardjuki memiliki 10 anak. Mereka adalah Raden
Ahmad Albar, Raden Anwar, Ika Kartika, Raden Anas Soegiarta, Ema Kasmawati,
Raden Akram Supraja, Kamiawasti, Raden Adi Abidin, Raden Agah Handoko, dan
Raden Muhammad Abduh.
Sebagai anak yang keluarga
besarnya merupakan tokoh masyarakat, Mardjuki memiliki peluang untuk bersekolah
di sekolah bentukan Belanda setelah lahirnya politik etis. Karena di Jonggol
belum ada, Mardjuki pun menempuh pendidikan tingkat dasar hingga menengah ditempuhnya
di Cibarusah.
Menjadi Polisi Tiga Zaman
Setelah menamatkan sekolah
menengahnya, Mardjuki kerja sebagai polisi. Penempatan tugasnya di sejumlah daerah
Bogor. Karir puncaknya terjadi saat ditunjuk sebagai kepala polisi di Cicurug. Hadirnya
tentara Jepang di nusantara, membuat Belanda pun angkat kaki. Oleh pihak
Jepang, Mardjuki tetap diberdayakan menjadi seorang polisi. Namun saat teks
proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, dan Belanda kembali datang, Raden Mardjuki
pun melanjutkan karirnya lagi sebagai polisinya Belanda.
Menjadi polisi Belanda di era
kolonial dibandingkan dengan era perang revolusi sungguh jauh berbeda. Doktrin
anti kolonial ke masyarakat yang gencar dilakukan Jepang selama tiga tahun itu
ternyata cukup efektif. Sehingga ketika Belanda datang lagi, cara pandang
masyarakat terhadap Belanda jauh berbeda. Hasrat untuk menjadi tuan di tanah
sendiri begitu kuat. Tidak ingin lagi ada pihak asing yang menjajah mereka.
Terhadap situasi yang berbeda tersebut,
dimana harus memilih untuk memihak ke mana, membuat Mardjuki akhirnya
memutuskan untuk bergabung dengan pihak republik. Apalagi anak pertamanya yakni
Raden Tjetje Soemantri telah lebih dahulu masuk dalam barisan pejuang.
Masa Bergerilya
Mardjuki kemudian bergabung
dengan pasukan Mayor Raden Oking Jayaatmadja. Seorang kerabat yang sebelumnya
sama-sama menjadi pegawainya kolonial.
Bergerilya dari satu daerah ke
daerah lain di wilayah Cibarusah – Bogor. Hingga akhirnya Mardjuki tertangkap saat
melaksanakan tugas pada tahun 1947 di Bogor. Ditahan oleh militer Belanda.
Sempat melarikan diri, namun berhasil ditangkap kembali dan terus ditahan
hingga Belanda pergi dari tanah Indonesia.
Selama ditahan, Mardjuki sempat
mendapat perlakuan khusus dari salah seorang tentara Belanda. Mendapat makanan,
minuman, dan lainnya yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Hal ini
terjadi akibat perbuatan baik yang pernah dilakukan Mardjuki kepada dirinya. Perbuatan
yang memang bagi Mardjuki tidak pandang bulu.
Ketika perang usia yang ditandai
dengan ditandatanganinya perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir
Desember 1949, Mardjuki kembali menghirup udara bebas. Oleh pemerintah, sebagai
bentuk terima kasih negara terhadap Mardjuki sebagai pejuang, diberikanlah
tanah sekitar 30 hektar di daerah Cariu.
Menjadi Camat
Mardjuki meneruskan Karirnya,
tetapi tidak di polisi lagi, melainkan di Angkatan Darat penempatan KODM (Komando
Onder Distric Militer) Jonggol. Tapi itu tidak lama. Agustus 1950 Kabupaten
Bekasi terbentuk. Mardjuki pun ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Camat
Cibarusah yang pertama atas rekomendasi Mayor Raden Oking. Melalui surat
Provinsi Jawa Barat tanggal 23/4/1951 /No. 284/Up/11/51 berlaku surut.
Diantara tugas yang diembannya
adalah pembenahan administrasi wilayah. Hal ini dikarenakan adanya pemekaran
beberapa desa maupun penggabungan. Untuk desa yang belum memiliki nama, oleh
Mardjuki lah diberikan nama. Sebagaimana memberikan nama ke anaknya, Mardjuki
pun memikirkannya secara masak. Tidak sembarangan. Diantara nama desa yang
diberikannya seperti Sirna Jati, Rido Galih, Sindang Mulya, dan lainnya.
Selama menjadi camat, Mardjuki
enggan untuk mengurus data sebagai veteran. Sebab, dalam pendataan tersebut,
akan ada gaji yang diterima setiap bulan oleh veteran. Dirinya merasa sudah
cukup mendapatkan gaji sebagai seorang camat. Biarkan itu untuk yang lain saja.
Sebab banyak pejuang yang selepas perang tidak menjadi apa-apa.
Ada tragedi yang membekas bagi
Mardjuki dan keluarga saat menjabat sebagai camat. Rumah dinasnya dirampok,
ditembaki, lalu dibakar oleh pasukan pemberontak Bambu Runcing. Pasukan yang
cukup dikenal saat itu sebagai pasukan ex-pejuang yang kecewa terhadap
pemerintah. Sehingga melakukan berbagai aksi teror dan kriminal terhadap warga
dan aparat.
Di bawah berondongan peluru dan
sergapan api yang membakar rumah dinasnya itu, Mardjuki dan keluarganya
berhasil menyelamatkan diri. Karena merasa diri dan keluarganya terancam
hidupnya, Mardjuki pun mengajukan diri untuk mundur dari Camat Cibarusah. Oleh
Pemda Kabupaten Bekasi yang saat itu masih berkantor di Jatinegara, pun
menyetujuinya. Direkomendasikan ke Menteri Dalam Negeri untuk menjadi camat di
wilayah lain. Lalu ditempatkanlah Mardjuki sebagai camat di Kecamatan
Bantarkalong di Kabupaten Tasikmalaya selama lima tahun.
Untuk meningkatkan kapasitasnya
sebagai aparatur pemerintah, Mardjuki sekolah lagi di Akademi Pemerintahan
Dalam Negeri (sekarang IPDN). Setelah sekolah lagi dua tahun, dia pun kembali
ditunjuk sebagai camat kembali di Kecamatan Cariu, lalu Kecamatan Leuwiliyang, Kabupaten
Bogor.
Setelah berkeliling ke sejumlah
daerah sebagai camat, Mardjuki ditarik ke Pemda Kabupaten Bogor hingga pensiun.
Setelah pensiun, Mardjuki dilibatkan oleh Pemda Bogor untuk mengelola usaha
milik pemerintah. Dengan menjadi direktur perusahaan perkebunan karet.
Tutup Usia
Diusia 68 tahun, Raden Mardjuki meninggal
karena sakit. Tepatnya pada 7 Juli 1978 di Cibarusah.
Histori yang mengibspirasi dan memberi teladan buat pembaca dan semua anak bangsa yang mengetahuinya. Kereen, kisah2 yang Aki baca di grup ini. Terima kasih..🙏🙏
BalasHapus