Kiprah Orang Batak Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Bekasi
Tugu Perjuangan di Jl. Agus Salim, Kota Bekasi
Bekasi telah dikenal oleh banyak
orang sebagai Kota Patriot. Ada juga yang menyebutnya sebagai Kota Pejuang.
Julukan yang disematkan atas sebab peristiwa bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaannya di tanah Bekasi. Saat itu, ribuan orang dari berbagai tempat berduyun-duyun
datang ke Bekasi. Ada yang sendiri dan ada yang berkelompok. Bersama warga
setempat bahu-membahu menjaga daerah perbatasan dari serangan penjajah.
Di antara mereka, tidak sedikit yang
dari etnis Batak. Orang yang berasal dari pulau seberang, ribuan kilometer
jauhnya. Butuh waktu berhari-hari dalam perjalanan jika menggunakan kapal laut
untuk sampai di Bekasi.
Nama mereka tercatat dalam lembaran
sejarah. Menorehkan kisah dalam epos perlawanan terhadap penjajah. Menghadapi
persenjataan lengkap pihak musuh dengan berani dan gagah. Meski jauh dari tanah
kelahiran namun berjuang tanpa mengenal menyerah.
Misalnya saja di daerah pertahanan utara
Bekasi. Tercatat nama Komandan Batalyon Kapten Matnuin Hasibuan dan Kepala Staf
Binsar Sitompul sebagai salah satu peletak dasar BKR Laut, yang kemudian
berganti menjadi TKR Laut, TRI Laut, lalu menjadi ALRI.[1]
Mereka bersama pasukannya, yang kebanyakan berisi orang Batak itu, menjaga
daerah bagian utara Jakarta, Bekasi, hingga Karawang.[2]
Kapten M. Panggabean selaku Wakil
Komandan Batalyon Hasibuan, membawahi lima kompi yang berjejer sampai ke daerah
pantai di Bekasi. Menjaga seluruh jalan yang menjadi akses dari dan ke Jakarta
dan Tanjung Priok.[3]
ALRI Batalyon Hasibuan menjadi bagian
dari Pangkalan II ALRI Karawang pimpinan Letkol Djunet Adimihardjo. Sama halnya
seperti Resimen V yang dipimpin oleh Letkol Moeffreni Moemin, mereka sama-sama
menjaga daerah perbatasan. Mereka adalah tentara yang terusir dari Jakarta
sejak Sutan Syahrir memerintahkan agar mereka keluar mulai 19 November 1945. Di
Pangkalan II ALRI Karawang juga terdapat orang Batak, yakni Letnan Hutagalaung
sebagai Kepala Perhubungan dan Letnan Alwi Pasaribu seorang periwira staf.[4]
Tugas Batalyon Hasibuan di sektor
sepanjang pesisir Cilincing – Bekasi – Karawang, atau daerah utara dari rel
kereta. Di sana, mereka bertugas bersama Batalyon III Hizbullah yang dipimpin
oleh KH Noer Ali.
Ada lagi badan intelijen yang bernama
Penyelidik Militer Chusus (PMC). Organisasi yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis ini
bermarkas di Purwakarta namun operasi intelijennya hingga ke seantero Nusantara.
Zulkifli sendiri menggalang kesetiaan untuk Republik dari kalangan pemimpin
dunia hitam. Dia lebih banyak aktif di Cibarusah.[5]
Kolonel Zulkifli Lubis |
Selain tentara resmi Republik yakni
TKR/TRI, terdapat juga tentara dari pihak rakyat yang ikut mempertahankan
Bekasi dari serangan musuh. Mereka biasa dikenal dengan sebutan Laskar. Ada
Laskar Hizbullah, BBRI, LRJR, Pesindo, Banteng Hitam, dan lain sebagainya.
Di Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR),
terdapat pemimpin kesatuan yang cukup militan, yakni Nurdin Pasaribu dan
Mawardi Lubis. Lalu di Pesindo terdapat nama Wahidin Nasution.[6]
Nurdin Pasaribu sendiri kemudian menggantikan Sutan Akbar sebagai Komandan Militer
LRJR.[7]
Lalu di awal 1947, sejumlah pelajar
dan mahasiswa di Bandung yang tergabung di Batalyon 33/Pelopor, mendapat tugas
untuk menjaga perbatasan di Bekasi. Komandannya adalah Kapten Simon Lumban
Tobing. Seorang mahasiswa senior dari Sekolah Teknik Tinggi Bandung (sekarang
ITB). Mereka bertugas di bagian sektor tengah, yakni menjaga jalan raya
Tambun-Bekasi.[8]
Kapten SL Tobing |
Batalyon 35/Pasukan Istimewa juga ditugaskan ke
Bekasi. Komandan Batalyonnya adalah Kapten Sitorus. Diantara anak buahnya
terdapat Letnan Sitompul yang membawahi sekian puluh orang.
Pada 20 Juli 1947,
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda H.J.
van Mook menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Tidak lama kemudian, di
malam harinya, Komandan Sektor Utara (Kapten Hasibuan) yang berada di Rengasdengklok melaporkan
dirinya menerima kabar melalui telepon dari Komandan Sektor Tengah (Kapten S.L.
Tobing) dan Komandan Karawang (Kapten Gultom) bahwa di daerah mereka terjadi
serangan dengan laskar yang pro Belanda. Termasuk laporan dari Kompi Pinus
Tambunan yang menjaga daerah perbatasan di bagian utara.[9]
Pukul 00.00, Senin 21 Juli 1947, agresi militer Belanda terhadap Indonesia pun
secara resmi dimulai. Agresi dipimpin
oleh Jenderal Spoor dengan menerobos ke
sejumlah perbatasan dan masuk ke daerah yang dikuasai Indonesia.
Serangan mendadak di sektor tengah
dari Divisi C-7 Desember itu berhasil ditahan dengan sengit
oleh pasukannya Kapten S.L. Tobing, Kompi Kapten Husein Kamaly, serta kompi
lainnya. Di sebelah utara, Batalyon
Hasibuan dengan susah payah meladeni serangan dari pihak Belanda. Seharian
penuh perang yang tidak imbang itu terjadi.
Hari Selasa, setelah memulihkan
kekuatan dan menata barisan kembali, dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki,
pasukan Republik meneruskan dalam mempertahankan daerah perbatasan yang kembali
digempur habis-habisan. Dengan persenjataan pihak Belanda yang sangat lengkap
serta ditunjang dengan kendaraan lapis baja dan pesawat tempur, serta diserang
dari berbagai sisi, akhirnya pertahanan para pejuang pun jebol juga. Bekasi,
Tambun, dan Cikarang berhasil dikuasai Belanda. Pasukan Republik mundur ke
Karawang.
Sebelum mundur ke Karawang, Letnan
Sitompul dari Batalyon 35, berusaha menghambat gerakan musuh dengan
menghancurkan jembatan Kali Citarum di Kedunggede. Namun itu tidaklah berhasil.
Tiga orang prajuritnya yang sedang mengupayakan peledakan ditembak oleh musuh. [10]
Rabu, 23 Juli 1947, Belanda terus
merangsek ke Karawang. Tetapi itu pun tidak lama. Perlawanan sengit yang
diberikan pihak Republik berhasil dipatahkan. Karawang pun kemudian dikuasai
Belanda. Dan lanjut di hari Kamisnya, untuk daerah Cikampek dan Purwakarta.
Berlanjut daerah Subang dan lainnya di Jawa Barat.
Pasukan Republik pun kocar-kacir. Ada
yang terus ke arah timur, namun banyak pula yang masuk ke hutan-hutan dan
pegunungan di sekitar Karawang dan Purwakarta. Melepaskan atribut kemiliteran.
Berbaur dengan warga. Meski Belanda telah menguasai daerah Republik, tetapi itu
hanya daerah perkotaan dan jalan besar saja. Mereka enggan untuk masuk lebih
jauh ke daerah perkampungan atau jalan kecil dan sukar dilalui.
Batalyon Hasibuan sendiri mundur menyusuri
pantai Laut Jawa. Saat tiba di Pagadenbaru, lanjut dengan kereta api ke
Jatibarang, Indramayu.[11]
Lalu terus ke Banyumas dan bergabung dengan unit utama ALRI dari Tegal.[12]
Tidak butuh waktu lama bagi para pejuang
untuk merapatkan barisan lagi. Menyusun kekuatan dan menyerang balik. Melalui
strategi gerilya, mereka melakukan banyak kekacauan yang itu banyak merugikan
pihak Belanda dan antek-anteknya secara materil maupun moril.
Hingga akhirnya melalui perjanjian Renville
yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu, pasukan Republik yang berada di
wilayah Belanda harus hijrah ke daerah yang dikuasai Republik. Pergerakan
pasukan dilakukan sepanjang Februari 1948 dari beberapa titik yang telah
ditentukan dengan berbagai macam kendaraan yang tersedia.
Untuk mempertahankan wilayah Jawa Barat
yang telah berhasil dikuasai Belanda, Jenderal Sudirman secara tidak resmi
membentuk suatu pasukan yang bernama Divisi Gerilya Bambu Runcing. Wahidin
Nasution memimpin Brigade-C Bambu Runcing yang bermarkas di Gunung Sanggabuana.[13]
Agar lebih kuat lagi dalam melawan Belanda, Wahidin
Nasution kemudian bersama pimpinan laskar lainnya yakni Tabrani dari Hizbullah, Persiapan
Lapangan pimpinan Usman Sumantri yang namanya berubah menjadi SP88 (Satuan
Pemberontak 88). Kelompok mereka disebut Divisi 17 Agustus.[14]
Sebelum hijrah, Matnuin Hasibuan bersama
tokoh Hizbullah lainnya terlibat dalam gerakan politik dengan mendirikan
Gerakan Plebesit di Bekasi. Sebagai bentuk dukungan adanya Gerakan Plebesit
Republik Indonesia (GPRI) yang diketuai oleh Ali Budiarjo. Namun usia GPRI
hanya beberapa hari saja. Karena secara politis belum kuat.
Pasca berdirinya Republik Indonesia Serikat
(RIS), Bekasi dan daerah lainnya di Indonesia banyak yang menolak adanya RIS.
Kembali, Matnuin Hasibuan beserta tokoh masyarakat lainnya mengadakan rapat
akbar di alun-alun sebagaimana daerah lain telah melakukan. Ribuan orang
berkumpul pada 17 Januari 1950 untuk menyatakan menolak pemerintahan federal
atau RIS.
Matnuin Hasibuan bersama istri dan anaknya.
Ketika Pemerintahan Kabupaten Bekasi
terbentuk pada 15 Agustus 1950, Matnuin Hasibuan diangkat sebagai Ketua DPRD
Kabupaten Bekasi yang pertama pada 10 Oktober 1950.
[1] Dinas Sejarah Militer Kodam V/Jaya. Sejarah Perjuangan Rakyat
Jakarta, Tangerang, dan Bekasi Dalam Menegakkan Kemerdekaan RI. Dinas
Sejarah Militer Kodam V/Jaya dan PT Virgo Sari, Jakarta 1975, hal. 73-74.
[2] Robert Cribb. Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Masup, Jakarta 2010, hal. 103.
[3] Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi. Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Angkasa,
Bandung 1979, hal. 103
[4] Dinas Sejarah Angkatan Laut. Sejarah Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut (Periode Perang Kemerdekaan) 1945-1950. Dinas Penerangan TNI
Angkatan Laut, Jakarta 2012, hal. 194-195.
[5] Robert Cribb. Op.Cit., hal. 147.
[6] Ibid., hal. 101
[7] Ibid., hal. 175.
[8] Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi. Loc.Cit.
[9] Ibid., hal 104.
[10] Ibid., hal: 105
[11] Ibid., hal. 107.
[12] Robert Cribb. Op.Cit., hal 206.
[13] Ibid., hal. 219-222.
[14] Endra Kusnawan. Sejarah Bekasi; Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah
Gini. Herya Media, Bogor 2019. Hal. 382.
Tidak ada komentar untuk "Kiprah Orang Batak Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Bekasi"
Posting Komentar