H. MOCH. HUSEIN KAMALY; Pengabdian Panjang Seorang Pejuang Terhadap Bekasi

Dalam rangka HUT Kota Bekasi yang ke-23, terdapat 43 orang yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Kota Bekasi. Mereka didaulat sebagai Tokoh Kehormatan Daerah Kota Bekasi 2020. Ada yang dari pejuang kemerdekaan, pendidikan, agama, budaya, maupun pemerintahan. Diantara mereka, terdapat tokoh pejuang kemerdekaan, tokoh politik, dan pemerintahan yakni Haji Mochammad Husein Kamaly.

Tidak banyak memang yang mengenal sosok yang telah memberikan kontribusi besar terhadap Bekasi ini. Mulai dari angkat senjata mengusir penjajah, hingga mengisi kemerdekaan. Kontribusinya terhadap Bekasi tidak bisa dianggap kecil. Namun sayang. Dalam catatan sejarah di Bekasi belum banyak diulas. Dan kini menjadi tugas kita untuk mengulasnya. 


Keluarga Aktivis Pergerakan


Lahir pada 17 Juli 1922 di Kranji, menjadikan Moch. Husein Kamaly sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara. Muhammad, Saabah, Sauwih, Riyah, Eno Muhibah, dan Amsanih. Ayahnya bernama Haji Riyan bin Sirun bin Rona. Berasal dari Kaliabang Bungur. Ibunya adalah Kissah binti Jimam bin Kecek. 

Jiwa patriot dalam dirinya tidak hanya ditempa oleh keadaan, melainkan juga mengalir jejak DNA dari sang ayah yang merupakan seorang aktivis pergerakan. Dikenal sebagai tokoh penting pada Sarekat Islam yang kemudian menjadi PSII di Bekasi di era kolonial Belanda. Suatu organisasi yang kerap kritis terhadap jalannya pemerintahan. 

Perjalanan Haji Riyan dalam dunia pergerakan berlanjut dalam kepengurusan Gerakan Tiga A di era pendudukan Jepang. Suatu gerakan yang didirikan pada 29 Maret 1942. Karena tidak sesuai dengan harapan kebangsaan, membuat Haji Riyan kembali melakukan berbagai penentangan. Jepang pun membubarkan Gerakan Tiga A dan menggantinya dengan organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dibentuk pada 16 April 1943. Putera dipimpin oleh Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansyur.

Sepak terjang yang berpotensi merusak hegemoni Belanda selepas Jepang pergi, menjadikan Haji Riyan sebagai sosok yang masuk dalam daftar DPO (daftar pencarian orang) bagi pihak militer.

Terhadap sikap kritis, didikan, dan contoh yang diberikan ayahnya tersebut, membuat semua saudaranya ikut ambil peran saat perang revolusi di Bekasi berlangsung. Yang lelaki angkat senjata. Sedangkan yang wanita membantu di dapur umum. Termasuk dari anak-anak kakaknya yang cukup usia, yang juga ikut ambil bagian dalam berbagai pertempuran. Sungguh keluarga pejuang.


Dari pernikahannya dengan Siti Fatimah binti Abdul Karim, dikaruniai 13 anak. 1). Damanhuri Husein, 2). Sofiah Husein, 3). Ely Wadyah Husein, 4). Abdul Adjis Husein, 5). Abd. Halim Amran Husein, 6). Siti Latifah Husein, 7). Muslih Husein, 8). Firman Muntaqo Husein, 9). Syudjai Husein, 10). Hidayatullah Husein, 11). Abu Bakar  Husein, 12). A. Fudoli Husein, 13) M. Sodri Husein.

Gen aktivis pergerakan pun mengalir ke anak-anaknya tersebut. Mereka aktif dalam berbagai jenis organisasi. Mulai dari organisasi sekolah, kampus, masjid, kepanduan, kepemudaan, olah raga, hingga organisasi politik. 

Dalam membangun rumah tangga, ajaran agama dijadikan pondasi oleh Moch. Husein Kamaly. Semua anak-anaknya dididik dalam Islam. Baik melalui contoh yang dilakukan maupun ajaran yang disampaikan. Pendidikan agama di rumah pun kemudian ditopang oleh keharusan untuk melanjutkan ke sekolah formal. Hingga mencapai ke jenjang yang tinggi. Agar itu semua dapat berjalan dengan baik. Sebagai orang dengan latar belakang militer, aspek disiplin pun tak ketinggalan ikut diterapkan. 


Pendidikan

Jalur pendidikan yang ditempuh Husein Kamaly pertama kali adalah jalur informal. Belajar langsung dengan ayahnya. Mengaji Al Quran selepas shalat Magrib selayaknya anak-anak kecil di Kranji. Pendidikan formalnya dimulai dengan memasuki Sekolah Rakyat di Bekasi, di belakang Kantor Polres Metro Kota Bekasi sekarang. Sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Di waktu yang sama, dirinya juga mengikuti Sekolah Agama di Madrasah Maslakul Achyar (Ibtidaiyah) di Kranji. Sekolah yang hingga kini masih ada. Sehingga menjadikannya salah satu sekolah tertua di Bekasi.

Selepas lulus di Sekolah Rakyat dan Ibtidaiyah, Husein muda meneruskan sekolahnya ke Sekolah Agama Oenwanul Falah di Kwitang, Jakarta. Madrasah yang didirikan oleh Habib Ali Al Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada 1911. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti KH Abdullah Syafii, KH Thohir Rohili, dan lainnya.

Meski terkesan jauh sekolah ke Jakarta, namun sebenarnya dekat saja. Melalui jalur kereta yang stasiunnya tidak jauh dari rumah maupun sekolahnya. Jadi cukup dengan jalan kaki, naik kereta, dan jalan kaki lagi. 

Bersamaan dengan belajar di Kwitang, dirinya juga mengajar di Madrasah Assaadah di Kranji. Madrasah yang notebenenya masih milik keluarga. Setelah lulus dari sekolahnya di Kwitang  pada tahun 1940, atau genap usia 18 tahun, Husein Kamaly naik menjadi kepala sekolah. Karirnya dalam dunia pendidikan terus berkembang. Di era pendudukan Jepang, dia tercatat sebagai guru di Sekolah Pertama di Kranji.


Ditempa di Dunia Pergerakan

Dunia pergerakan yang membawanya pada sikap nasionalisme, dimulai dengan bergabungnya dia pada semasa sekolah di Kepanduan SIAP (Sarekat Islam Afdeling Padvinderij) di Bekasi. Kepanduan SIAP merupakan sayap organisasi dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). 

PSII merupakan partai yang dibesut oleh HOS Tjokroaminoto. Suatu partai hasil dari reorganisasi Sarekat Islam melalui konferensi organisasi tahun 1923, yang menjadi Partai Sarekat Islam. Agar lebih luas cakupannya, dan jelas orientasi politiknya, di tahun 1929 berubah lagi menjadi PSII. 

Bergabungnya Husein Kamaly di SIAP sendiri, tidak lepas dari peran ayahnya yang merupakan pengurus aktif PSII Bekasi. Namun begitu, pengalamannya di kepanduan menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan kehidupan selanjutnya. 

Berbekal kemampuannya yang ditempa di kepanduan dalam berorganisasi dan baris-berbaris, membuat Husein Kamaly mendaftarkan diri pada organisasi bentukan Jepang saat terjadi pendudukan, yakni Syuishintai. Atau lebih dikenal dengan nama Barisan Pelopor. 

Barisan Pelopor merupakan organisasi sayap pemuda dari Jawa Hokokai yang dibentuk dan dipimpin oleh Ir. Sukarno pada 14 September 1944. Untuk tingkat Jakarta, dipimpin oleh dr. Muwardi. Setelah Ir. Sukarno menjadi presiden, jabatan ketua umum pusat diserahkan ke dr. Muwardi.

Jawa Hokokai atau Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa adalah organisasi resmi pemerintahan Indonesia. Dibentuk oleh Jepang pada 1 Januari 1944 sebagai pengganti organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Di Barisan Pelopor, dirinya menjadi seorang Shotaicho, sejenis komandan untuk level kompi. Pada umumnya satu kompi bisa terdiri dari tiga atau empat pleton yang totalnya mencapai 100 orang. Kompi Husein Kamaly di bawah Chutaicho Muchayar, yang setingkat dengan Batalyon. Muchayar merupakan pimpinan Barisan Pelopor Bekasi

Saat revolusi fisik memulai eranya, banyak anggota Barisan Pelopor di Bekasi yang bergabung dengan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) pimpinan dr. Muwardi. Di organisasi ini, Husein Kamaly menjadi Komandan Kompi Banteng Teruna.

BBRI tidak memiliki hubungan dengan PNI, partai yang dibentuk oleh Sukarno. Bahkan pada titik tertentu, bersebrangan. BBRI lebih cenderung mendukung gerakan Indonesia Merdeka Seratus Persen. Yang kemudian banyak yang mengkategorikan sebagai laskar yang nasionalis radikalis.


Seputar Proklamasi

Tidak lama setelah Ir. Sukarno membacakan teks proklamasi, terdapat pengalihkekuasaan secara singkat dan cepat. Termasuk di Bekasi. Dibentuknya berbagai lembaga yang memiliki cabang di Bekasi, seperti KNI, BKR, dan termasuk kepolisian. Muhammad bin Riyan, yang merupakan kakak dari Husein Kamaly, menjadi Kepala Kepolisian Bekasi yang pertama.

Agar seantero negeri mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, para pemuda di bawah naungan Angkatan Pemuda Indonesia (API) mengadakan rapat raksasa di lapangan Ikada (kini lapangan Monas). Organisasi yang didirikan para pemuda dan mahasiswa radikal itu, menetapkan acara terjadi pada 19 September 1945. Untuk itu, merekapun melakukan mobilisasi massa dari Jakarta dan sekitarnya.

Di wilayah Bekasi, dari pihak API yakni Sukarni menemui Muchayar salah satunya. Informasi tersebut kemudian diteruskan ke seluruh pasukan Barisan Pelopor. Termasuk Husein Kamaly selaku komandan kompi yang memerintahkan anak buahnya untuk menyebarkan informasi tersebut ke masyarakat. Saat Hari-H, Husein Kamaly dan pasukannya, serta ribuan orang Bekasi lainnya berbondong-bondong menuju lapangan Ikada.

Selepas acara tersebut, Husein Kamaly tidak langsung balik ke rumah. Namun ikut ke markas API di Menteng 31 untuk melakukan konsolidasi gerakan berikutnya, terutama untuk wilayah Bekasi. Keesokan harinya. Sekitar waktu shubuh, menjelang pagi, pihak Jepang yang tidak menyukai acara di Lapangan Ikada itu, menggrebek markas API. Beberapa petinggi API ditangkapi. Sedangkan Husein Kamaly termasuk yang berhasil meloloskan diri.

Penangkapan tersebut tidak membuat mereka ciut nyalinya. Justru semakin membara. Para pemuda terus melakukan konsolidasi ke berbagai pihak. Termasuk Sidik Kertapati, tokoh pemuda radikal dari BARA (Barisan Rakyat) yang menjalin komunikasi dengan Muchayar, Husein Kamaly, dan lainnya di Bekasi.


Angkat Senjata dan Gerilya

Ketika mempertahankan kemerdekaan harus dengan senjata, Husein Kamaly pun telah siap. Kompi yang dia pimpin saat jaman Jepang di Barisan Pelopor, dikumpulkan lagi. Kemudian kompinya menggabungkan diri dalam wadah yang lebih besar, BBRI. Dan Kranji, atau lebih tepat rumah Husein Kamaly pun dijadikan sebagai Markas Besar BBRI Bekasi.

Dia bersama kawan-kawannya pun menyiapkan diri secara fisik dan mental. Merapatkan barisan dan mengatur strategi. Agar tak gentar menghadapi sesuatu hal yang besar.

Di Pondok Ungu, terdapat Tohir. Pemuda setempat yang sama-sama ditempa Syuishintai, dan kemudian bergabung di BBRI. Seorang komandan kompi. Mereka berdua menjaga jalan menuju Bekasi. Dari serangan pihak sekutu yang tidak jarang menerobos perbatasan di Cakung.

BBRI secara terus menerus mengadakan latihan fisik dan mental. Memperkuat diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Penggemblengan dipusatkan di pabrik penggilingan padi di Teluk Buyung. Pesertanya dari berbagai daerah. 

Tidak jauh dari situ. Atau tepatnya di sekitar stasiun Bekasi. Pada 19 September 1945, terjadi suatu tragedi. Sekitar 90 tentara Jepang yang hendak ke Subang melewati Bekasi dengan menggunakan kereta api, dibunuh. Rakyat, jawara, BBRI, dan lainnya yang memendam rasa balas dendam terhadap perbuatan Jepang kepada mereka selama ini tertumpahkan. Kali Bekasi pun memerah. Mayat tentara Jepang yang telah mati itu, dibuangnya begitu saja ke air yang sedang mengalir.

Pasukan Kompi Banteng Teruna yang dipimpinnya di daerah Kranji, bersama laskar lainnya, dan TKR Batalyon V pimpinan Mayor Sambas Admadinata, ikut mempertahankan daerah perbatasan dari serangan sekutu. Pertempuran yang cukup fenomenal di Bekasi tersebut adalah pertempuran yang dikenal dengan pertempuran Rawapasung. Pertempuran yang terjadi pada 19 Februari 1946 itu tercatat dalam laporan tertulis pihak Inggris maupun pejuang. 

Saat itu, tentara sekutu dari arah Pulo Gadung menuju Bekasi dengan kendaraan lapis baja, truk yang membawa tentara, serta tentara yang berjalan di kanan-kiri jalan. Iring-iringan yang cukup besar tersebut berhasil menembus pertahanan di perbatasan Kali Cakung. Para pejuang di Bekasi kemudian mengatur strategi untuk menahan laju pihak Sekutu dan Belanda. Kemudian ditetapkanlah penghadangan dilakukan di perlintasan rel yang membelah jalan utama di Kranji (sekarang di bawah dan sebelum fly over Kranji dari arah Pulo Gadung).

Kekuatan bersenjata saat itu yang dimiliki adalah TKR dan sejumlah laskar. Mereka terdiri dari BBRI, Laskar Rakyat, dan Perguruan Pencak Silat asal Subang pimpinan Haji Ama Raden Uce Puradiredja. Persenjataan yang digunakan hanya mengandalkan beberapa pucuk senjata Carabijn, senapan mesin ringan, bambu runcing, golok, keris, tombak, panah, dan granat tangan. 

Dengan kekuatan yang tidak imbang tersebut, kemudian dipecah dalam formasi: bagian Selatan hingga Timur pintu kereta api ditempati TKR yang dipimpin oleh Mayor Sadikin, Laskar BBRI di sebelah Selatan pintu kereta atau di Kranji yang dipimpin oleh Husein Kamaly. Bagian Utara pintu kereta api atau di Rawapasung ditempati oleh Laskar Rakyat, serta sebelah Utara hingga Barat dikuasai oleh Perguruan Pencak Silat.

Karena senjata yang dimiliki tidak imbang, maka cara bertempurnya dengan melakukan pertempuran jarak dekat. Dengan begitu, membuat senjata Sekutu tidak terlalu berfungsi. Strategi ini selalu dilakukan oleh pihak Indonesia dalam tiap pertempuran.

Taktik dimulai dengan menutup perlintasan kereta api dengan palang pintu. Pasukan sekutu mengira akan ada kereta api yang akan lewat. Para pejuang sebelumnya telah memasukkan semua senjata ke dalam baju, sarung yang dililit di perut hingga tidak terlihat dari luar, atau diletakkan disuatu tempat. Untuk kamuflase, mereka berbincang santai sambil merokok. Banyak juga yang bersembunyi. Pasukan Inggris mengira mereka hanyalah petani biasa yang pergi ke sawah. Namun disaat mereka lengah, dalam waktu singkat terjadi pertempuran jarak dekat yang cukup sengit. 

Seiring pekikan takbir, para pejuang menyergap. Mereka melompat ke panzer, tank, maupun truk. Dengan berbagai senjata tajam dan ilmu bela diri, mereka menghujam semua tentara yang mereka hadapi. Karena serangan yang tidak diduga, pihak sekutu tidak sempat melakukan perlawanan berarti. Dengan sigap, pasukan sekutu pun mundur. Akibatnya, terdapat 6 orang dari pejuang dan sejumlah tentara sekutu yang gugur. Pihak pejuang berhasil merampas 12 senapan mesin dan 10 carabijn. Mereka juga berhasil menghancurkan sejumlah kendaraan dengan jalan melempar granat-granat dari jarak dekat.

Peristiwa kemenangan ini pun diabadikan dalam relief di monumen perjuangan depan Gedung Juang di Tambun maupun relief di Taman Makam Pahlawan Bekasi di Bulak Kapal.



Namun begitu, serangan dari pihak sekutu tidaklah surut. Justru semakin intensif. Sepanjang tahun 1946, tiada hari terlewati tanpa adanya pertempuran. Serangan terjadi kapan saja dan dimana saja. Meski Kranji berhasil dikuasai sekutu. Hingga garis perbatasan bergeser ke Kali Bekasi pada Juni 1946, tetap saja pertempuran demi pertempuran terus terjadi. 

Kranji sebagai teritori pasukan Moch. Husein Kamaly yang berhasil ditaklukkan sekutu itu, digambarkan dengan baik oleh Pramudya Ananta Toer. Melalui novelnya Kranji-Bekasi Djatoeh yang terbit tahun 1947 dan Di Tepi Kali Bekasi yang ditulisnya selepas mengundurkan diri dari tentara tahun 1947, Pram menggambarkan suasana dan situasi kala itu. Yang sedang berkecamuk perang, yang dibombardir oleh bom dan rentetan tembakan yang bersahut.

Perlawanan yang sengit yang diberikan pasukan Republik, secara umum terdapat dua kelompok besar bersenjata, TKR/TRI dan Laskar. TKR/TRI merupakan organisasi militer resmi pemerintah. Sedangkan laskar, merupakan organisasi militer yang dibentuk oleh masyarakat. Seperti BBRI, Hizbullah, MPHS, KRIS, LRJR, dan lainnya. 

Meski mereka memiliki tujuan yang sama, yakni mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah, tetapi dalam perjalanannya kerap terjadi persilangan. Bentrok senjata antara keduanya sering kali tidak bisa terhindarkan.

Oleh karena itulah. Untuk meningkatkan soliditas dan rapihnya sistem organisasi pertahanan, oleh Presiden Sukarno dikeluarkanlah perintah pada 18 Maret 1947. Perintah tersebut menyatakan bahwa semua satuan bersenjata diwajibakan untuk bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.

Perintah dari Presiden Sukarno tersebut menjadi pro kontra dikalangan laskar. Ada yang setuju melebur, namun ada juga yang tidak. Diantara laskar yang mau melebur terdapat pasukan Husein Kamaly dari BBRI. Mereka bergabung dalam Batalyon V Banteng Ketaton pimpinan Mayor Achmad Sachdi dari Resimen VII, Brigade Kian Santang, Divisi Siliwangi. Banteng Ketaton merupakan batalyon dari kumpulan pasukan BBRI di wilayah timur Jakarta. 

Saat melebur, Husein Kamaly kemudian mendapat pangkat sebagai kapten. Dirinya tetap memimpin pasukannya yang bernama Kompi Banteng Taruna. 

Akibat Agresi Militer I dari pihak Belanda pada 21 Juli 1947, membuat Kompi Banteng Taruna yang dipimpin Kapten Husein Kamaly mundur ke arah timur. Menempati Kampung Ciririp/Kandang Sapi, di bawah Gunung Sanggabuana dan Gunung Parang, sebagai markas. Di sana, mereka bergabung dengan Mayor Lukas Kustaryo. Yang diperintahkan untuk tetap bergerilya di daerah Purwakarta, Sanggabuana, Cikampek, Karawang, dan sekitarnya.

Saat bergerilya, mereka harus berpakaian seperti layaknya rakyat biasa. Tidak boleh berpakaian ala militer. Karena memang semua daerah yang menjadi area gerilya sudah dikuasai Belanda semua. Selama bergerilya, mereka kerap melakukan penghadangan dan penyerbuan secara sporadis terhadap pihak Belanda maupun antek-anteknya.

Hingga kemudian perjanjian Renville disepakati oleh Indonesia dan Belanda pada Desember 1947. Diantara kesepakatannya adalah seluruh tentara Indonesia harus hijrah paling telat Februari 1948 ke wilayah Indonesia, yakni sebagian Jawa Tengah, Jogjakarta, dan sebagian Banten. 

Banyak pasukan yang ikut hijrah. Termasuk pasukan Mayor Lukas Kustaryo dan Mayor Sambas Admadinata yang ke Jawa Tengah, Kapten KH Noer Ali yang ke Banten. Juga Batalyon Banteng pimpinan Mayor Achmad Sachdi yang ke Magelang, yang merupakan induk dari Kompi Kapten Moch. Husein Kamaly.

Sedangkan Kapten Moch. Husein Kamaly beserta anak buahnya memutuskan untuk tidak ikut berangkat. Mereka tetap berada di daerah yang kini menjadi milik Belanda. Bergerilya dari satu tempat ke tempat lain. Purwakarta, Sanggabuana, Cikampek, Wadas, Cibarusah, dan sekitarnya. Sambil sesekali melakukan serangan terhadap pasukan Belanda dan yang pro terhadapnya. Juga tetap memelihara dan membina persatuan dan kesatuan masyarakat dalam wadah Republik Indonesia.

Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan aksi militernya yang kedua. Seluruh wilayah Indonesia berhasil diduduki. Jenderal Sudirman pun memerintahkan Divisi Siliwangi untuk kembali ke daerahnya masing-masing. 

Mayor Achmad Sachdi yang juga ikut kembali, ternyata setelah tiba berbalik arah. Lebih memilih berdamai dengan Belanda. Menjadi juru kampanye agar para pejuang menyerah dan tunduk dalam perintah Belanda. Juga membujuk masyarakat untuk mendukung Belanda. Sedangkan anak buahnya lebih memilih kembali ke hutan. Bergerilya dan melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Tidak terkecuali Kapten Moch. Husein Kamaly dan pasukannya yang kecewa dengan keputusan komandannya itu. Mereka pun kemudian bergabung dengan Batalyon K yang dipimpin oleh Mayor Lukas Kustaryo. Batalyon K merupakan bagian dari Brigade XIII yang dipimpin oleh Letkol Sadikin. 

Bertambahnya pasukan dan amunisi, membuat kekuatan moril para pejuang meningkat. Mereka bersama kembali merangsek ke Bekasi. Bergerilya dan melakukan tekanan terhadap pihak Belanda. Memberikan serangan mendadak dan sporadis bersama pejuang lainnya. 

Dengan penandatanganan dokumen dari hasil perundingan Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, menandakan perang revolusi berakhir. Husein Kamaly pun memutuskan untuk meletakkan senjata. Kembali ke masyarakat. Pangkat terakhirnya adalah kapten dan di bawah pasukan Brigade XIII Divisi Siliwangi. Nomor NRP nya NPV.9750/B.

Terhadap berbagai peristiwa heroik dari masyarakat maupun pejuang di Bekasi, Kapten Husein Kamaly pun bersama warga sekitar rumahnya di Kampung Bekasi (sekarang Bekasi Tugu) membangun sebuah tugu. Peresmian dilakukan pad 13 Desember 1949, untuk mengenang peristiwa pembakaran Bekasi oleh sekutu pada tanggal dan bulan yang sama empat tahun sebelumnya. 


Selama perang, Kapten Moch. Husein Kamaly cenderung diterima oleh berbagai kalangan. Karena dia memiliki kapasitas dan latar belakang yang mumpuni dari berbagai aspek. Bicara tentang pendidikan ala Jepang dengan anggota TKR/TNI yang banyak berasal dari didikan Jepang, nyambung. Karena memang lama ditempa di Syuishintai. Bicara tentang kejawaraan, pergaulannya dengan para jawara diterima. Selain karena pengaruh ayahnya yang cukup lama di dunia pergerakan, juga banyak anak buah maupun rekan seperjuangannya yang jawara. Bicara tentang keagamaan, dirinya merupakan lulusan madrasah milik Habib yang sangat kharismatik, pengelola madrasah keluarga, dan bagian dari keluarga besar Sarekat Islam. Dari aspek pendidikan, dia seorang guru pada sekolah bentukan Belanda. 

Jadi, Husein Kamaly merupakan sosok yang mumpuni. Mulai dari aspek otot, otak, nyali, dan spiritual ada semua. 

Atas jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, Kapten Moch. Husein Kamaly mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah. Presiden Sukarno menganugerahkan tanda Jasa Pahlawan atas jasanya di dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan negara. Oleh Menteri Pertahanan, Djuanda, dianugerahi Satyalancana Peristiwa Perang Kerdekaan Kedua pada 17 Agustus 1958.

Sedangkan jalan yang menuju ke rumahnya, diberikan nama Jalan Banteng. Sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap peran Barisan Banteng yang dipimpin oleh Kapten Moch. Husein Kamaly dalam mempertahankan kemerdekaan.


Mengisi Kemerdekaan

Selepas perang mempertahankan kemerdekaan, para pejuang secara umum dibagi menjadi tiga sektor pengabdian dalam mengisi kemerdekaan. Ketiga sektor tersebut semuanya difasilitasi oleh pemerintah. Ada yang meneruskan karir militernya. Ada yang masuk ke pemerintahan. Dan yang memilih jadi pengusaha atau berbisnis. 

Moch. Husein Kamaly termasuk orang memilih masuk dalam pemerintahan. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi. Yang saat itu di bawah pimpinan Raden Suhandan Umar (1950-1951). Oleh Pemda Kabupaten Bekasi, dia dipercaya untuk mengurusi hewan di daerah Pebayuran, Sukatani, dan Cabangbungin. Dirinya bekerja di tiga kecamatan tersebut hingga tahun 1956. 

Menjelang pemilu pertama di negeri ini pada September 1955, Moch. Husein Kamaly terjun dalam dunia politik. Bersama mantan komandannya saat jaman perang revolusi, Muchayar, dia bergabung di Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI). Partai yang didirikan oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, Kolonel Gatot Subroto, dan tentara aktif lainnya pada 20 Mei 1954.


Banyak militer aktif maupun mantan pejuang kemerdekaan yang bergabung di IPKI. Di Bekasi sendiri, tidak sedikit pentolan pejuang yang bergabung. Sebut saja Haji Djole, Camat Nata, Lukas Kustaryo, M.Nausan, Hasyim Ahmad, Muchayar, dan Husein Kamaly. 

Mereka memiliki pengaruh dan jaringan hingga ke desa-desa di Bekasi. Sehingga, membuat IPKI dalam waktu relatif singkat, berhasil merengkuh suara cukup banyak. Dan menjadi pesaing terdekat Masyumi, organisasi yang telah ada sejak jaman Jepang.

Hasilnya, untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRDP) Kabupaten Bekasi, IPKI berhasil meraih 7 kursi. Beda tipis dengan Masyumi yang 8 kursi. Tempat ketiga diduduki oleh NU dengan raihan 3 kursi. Sedangkan partai lain masing-masingnya PNI (2 kursi), PKI (2 kursi), PRN (1 kursi), PSII (1 kursi), Gerakan Banteng (1 kursi), PRJ (1 kursi), Murba (1 kursi), dan Persatuan Polisi Republik Indonesia (1 kursi).

Diantara 7 kursi yang dimiliki IPKI itu, terdapat nama Haji Djole dan Moch. Husein Kamaly yang berhasil masuk. Sedangkan Lukas Kustaryo terpilih menjadi anggota DPR RI.

Husein Kamaly kemudian dengan suara mayoritas di dewan, diangkat sebagai Ketua DPRDP untuk periode 1956-1957. Dilantik pada 2 November 1956 berdasarkan keputusan DPRDP No. 1/DPRDP/1956. Menggantikan Mad Nuin Hasibuan yang menjadi Ketua DPRDS periode 1950-1956.

Berdasar ketentuan UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, pada 1 November 1957, Husein Kamaly yang sebelumnya sebagai Ketua DPRDP, diangkat sebagai Ketua DPRD Swatantra Tingkat II Bekasi melalui Keputusan DPRD Swatantra Tingkat II Bekasi No. 1/DPRD/1957. Menyusul M. Nausan, dari IPKI ditetapkan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi pada 27 Januari 1958 setelah mendapat suara mayoritas dari anggota DPRD. 

Menurut undang-undang tersebut, Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonom. Daerah otonomi biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut daerah istimewa.

Padahal, disaat yang sama terdapat Raden Sampoerno Kolopaking sebagai Bupati Bekasi. Dia menjabat hingga 1 Juni 1958. Yang kemudian diganti oleh RMKS. Prawira Adiningrat untuk sementara waktu sebagai Pejabat Sementara Bupati Bekasi sampai terpilih bupati definitif yang dipilih pada 1960. 

Dengan begitu, pada 1958-1960 Bekasi dipimpin oleh dua pemimpin, yaitu RMKS Prawiradiningrat sebagai Bupati Bekasi dan M. Nausan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi. 

Dualisme kepemimpinan tersebut berakhir dengan diangkatnya Maun Al Ismaun sebagai Bupati dan Kepala Daerah Swatantra Kabupaten Bekasi (29 Januari 1960 – 26 Januari 1967). Husein Kamaly selaku Ketua DPRD pun diganti oleh Hasyim Ahmad yang juga dari IPKI. 

Pada 5 Maret 1960, DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Kemudian Sukarno menyusun daftar anggota DPR yang baru. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Hal ini juga berdampak ke pengurusan di daerah. DPRD berubah menjadi DPRD-GR. Hasyim Ahmad pun digantikan oleh Maun Al Ismaun pada 1 Desember 1960. Sehingga saat itu, Bupati yang juga sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Kabupaten Bekasi, merangkap sebagai Ketua DPRD-GR. Sedangkan Husein Kamaly menjabat sebagai wakil ketua untuk periode 1960-1967. 

Tetapi kemudian, karena Maun Al Ismaun hanya menjadi Bupati dan Kepala Daerah, tidak bisa menjabat sebagai dewan, jabatan Ketua DPRD-GR pun kembali dijabat oleh Husein Kamaly.

Jejak Moch. Husein Kamaly dalam dunia politik sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, ternyata diikuti oleh anaknya yang pertama, H. Damanhuri Husein. Melalui jalur Partai Golkar, H. Damanhuri Husein menjadi Ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 1999-2004.

Bergabungnya Damanhuri Husein di Golkar, hingga menjadi Ketua Golkar tingkat Kabupaten Bekasi yang kemudian mengantarnya menjadi ketua DPRD, tidak lepas dari peran ayahnya. Moch. Husein Kamaly yang lama di Partai IPKI pindah ke Golkar. Ini tak lain karena IPKI bergabung ke PDI saat keputusan pemerintah dalam menghadapi pemilu 1973 dengan menyederhanakan jumlah partai menjadi tiga saja. Padahal banyak anggotanya yang menghendaki untuk bergabung ke Golkar.

Memasuki era orde baru, Husein Kamaly diangkat menjadi anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi. Bertugas untuk membantu Bupati Bekasi MS Soebandi pada 1967-1970.

Sejak 1970, oleh Pemda Kabupaten Bekasi bagian Kesra, Moch. Husein Kamaly diberdayakan untuk mengurusi hal-hal yang terkait dengan sejarah Bekasi. Selain karena memang sebagai pelaku saat jaman perang, memiliki pergaulan yang luas, juga memiliki kapasitas intelektual yang baik. Karena untuk melaksanakan penelitian dan membuat tulisan dengan latar belakang seorang pejuang saat itu, jarang yang bisa melakukan. Apalagi sebagai orang yang mengawali. Sebab sebelumnya di Bekasi belum ada yang melakukannya.

Penelusurannya tidak hanya terkait dengan sejarah perang. Melainkan keseluruhan. Termasuk sejumlah artefak yang sedang marak ditemukan di daerah Kampung Buni, Babelan.

Tugasnya dalam melakukan penelusuran sejarah, ditopang oleh dirinya yang aktif dalam organisasi veteran. Mulai dari sebagai wakil ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Cabang Kabupaten Bekasi. Hingga Ketua V Angkatan 45 Kabupaten Bekasi. Dengan begitu, memudahkan dia dalam melakukan penelusuruan ke berbagai tempat dan orang yang terlibat. Melakukan wawancara dan investigasi.

Hasil penelusurannya kemudian dibukukan pada tahun 1973 dengan judul Rakyat Bekasi Berjoang, 17 Agustus 1945. Lalu ada buku Sejarah Pekembangan Kabupaten Bekasi yang juga diterbitkan tahun 1973 oleh Pemda Kabupaten Bekasi

Karyanya banyak dijadikan rujukan oleh banyak pihak. Seperti dalam buku buatan Dinas Sejarah Militer Kodam V/Jaya dengan judul Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang, dan Bekasi Dalam Menegakkan Kemerdekaan RI yang terbit tahun 1975. Lalu ada buku yang dibuat oleh Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat dengan judul bukunya Seri Monumen Sejarah TNI Angkatan Darat jilid 1 yang terbit tahun 1977.

Tulisan yang berserak itu pun kemudian dibukukan menjadi beberapa judul. Diantaranya adalah buku dengan judul Sejarah Rakyat di Bekasi Berjoang yang terbit tahun 1983.

Hasil dari penulusurannya tersebut, pada periode perang mempertahankan kemerdekaan, Husein Kamaly mencatat beberapa kejadian dan tempat yang terkait masa itu. Setidaknya ada 24 titik pertempuran hebat, 37 pertempuran umum, 83 markas pejuang yang tersebar di seluruh Bekasi, 10 kampung yang pernah dibumihanguskan, 15 daerah yang sering dijadikan tempat penyelinapan gerilyawan, 23 tempat yang dijadikan markas sekutu atau Belanda, dan 11 tempat penyiksaan dan pembantaian.

Dengan begitu, Husein Kamaly bisa dikatakan sebagai sosok peletak dasar penulisan sejarah Bekasi.

Angka-angka tersebut sebenarnya menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Angka-angka yang menegaskan bahwa Bekasi sebagai Kota Patriot atau Kota Pejuang.

Saat musim haji tahun 1979, Moch. Husein Kamaly berangkat haji. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat kudeta terhadap Masjidil Haram selama dua minggu. Pendudukan sejak 20 November hingga 4 Desember 1979 oleh ratusan orang bersenjata tersebut dipimpin oleh Juhaiman bin Muhammad Ibn Saif al Otaibi. Mereka menyatakan bahwa Mohammed Abdullah al-Qathani adalah seorang Imam Mahdi. Dan seluruh umat Islam untuk mematuhinya.

Dengan senjata yang dimiliki, mereka menguasai Masjidil Haram. Umat Islam yang sedang melaksanakan haji menjadi sandera. Tentara keamanan Arab Saudi langsung bertindak cepat. Termasuk Husein Kamaly yang terpaksa kembali angkat senjata. Darah pejuangnya pun kembali mengalir. Nuraninya terusik dengan kezaliman bersenjata yang ada di depan matanya. 

Sepertinya memang suratan takdir baginya. Tidak di negeri sendiri maupun di negeri orang. Angkat senjata dan mengusir penjajah adalah bagian dari jalan hidupnya.

Tidak lama setelah balik dari berangkat haji, Haji Moch. Husein Kamaly ikut bergabung dalam MUI Kabupaten Bekasi sebagai ketua II. Bersama KH Noer Ali untuk periode 1982-1987.

Pengabdian panjang Haji Mochammad Husein Kamaly terhadap Bekasi pun berakhir pada 1 April 1997. Dimakamkan disebelah pusara ayahnya di Kranji. Dengan bendera merah putih yang tertancap. Sebagai tanda bahwa dirinya merupakan seorang pahlawan.

Endra Kusnawan
Endra Kusnawan Orang yang senang belajar sesuatu hal yang baru. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit bagian ngurusin CSR. Waktu luangnya digunakan untuk berbagi pengetahuan seputar sejarah, pelatihan dan motivasi. Dalam konteks sejarah, merupakan pendiri Grup diskusi di Facebook, Wisata Sejarah Bekasi, sejak 26 Januari 2013. Juga merupakan pendiri sekaligus Ketua Komunitas Historia Bekasi sejak Agustus 2016. Bisa dihubungi 0818.0826.1352

2 komentar untuk "H. MOCH. HUSEIN KAMALY; Pengabdian Panjang Seorang Pejuang Terhadap Bekasi"

  1. Terima kasih buat sodara Endra Kusnawan,yang telah banyak sekali merangkum biografi KH.M.husaein kamaly,saya adalah salah satu cucu beliau..yg telah meluruskan sejarah Bekasi,yg tidak hanya KH.Nur Alie saja pejuang Bekasi yang sesungguhnya yg belum banyak terekspos..atas nama cucunya KH.Husein kamaly saya ucapkan banyak terima kasih..Saya Dony Andriyansyah Putra ke dua dari Babeh Halim Amran Husein..semoga kita bisa bersilaturahmi nantinya..

    BalasHapus
  2. Terimakasih sebesar2nya buat bang endra.. kami para cucu dan cicit dr kluarga baba H.Riyan yg dahulu mungkin hanya dpt cerita dr orang tua, yg tidak lengkap. Berkat bang endra, kami para cucu dan cicit jd tau seberapa besar nya prjuangan para kake dan kake buyut kami untuk bekasi ini. Orang2 selalu bercerita tentang perjuangan bekasi,dan ternyata mereka itu adalah kake kake saya. Saya sering berjiarah ke makam makam beliau. Saya mrrasa bangga menjadi salah satu kturunan keluarga besar H. RIYAN.

    BalasHapus

Posting Komentar