Resolusi Rakyat Bekasi (17 Januari 1950)

Menyikapi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949, sejumlah daerah di Indonesia bergejolak. Mereka menentang terbentuknya Negara Pasundan dan negara federal lain yang notabenenya merupakan negara boneka Belanda. Mereka ingin Indonesia menjadi satu kesatuan utuh sebagaimana dicita-citakan saat proklamasi kemerdekaan.
Awal Desember 1949, sejumlah pegawai Karesidenan Cirebon, jawatan-jawatan sosial, Jawatan Kereta Api dan Jawatan Penerangan mengajukan suatu mosi kepada pemerintah RIS dan Pemerintah RI di Yogyakarta. Isi mosi tersebut adalah menyerahkan seluruh Cirebon kepada TNI dan penghapusan Negara Pasundan untuk kemudian digabungkan ke dalam Republik Indonesia. [1] Di Bogor pada 19 Desember 1949 diadakan rapat umum yang dihadiri oleh sejumlah orsospol; antara lain: Parki, Sobsi; Masyumi, PIR, PPI, PSI dan lainnya. Mereka menuntut agar Negara Pasundan dibubarkan.[2]
Di Cianjur dibentuk Badan Nasional yang disebut Badan Nasional Kabupaten Tjiandjur (BNKT). Badan yang dibentuk pada tanggal 3 Pebruari 1950 dan mengatasnamakan seluruh masyarakat Cianjur ini menghimpun 112 organisasi politik, termasuk di dalamnya organisasiorganisasi politik Islam. Pada tanggal 4 Februari badan ini mengeluarkan pernyataan politiknya bahwa sejak hari tersebut mereka menjadi bagian dari Republik Indonesia.[3] Tuntutan yang sama juga dilakukan ribuan masyarakat Sukabumi pada pertengahan Januari 1950. Lalu dilanjutkan deklarasi pada 30 Januari 1950.[4]
Ribuan rakyat Tasikmalaya melakukan aksi pada pertengahan Januari 1950 agar bergabung dengan Republik Indonesia.[5] Karena tidak mendapatkan respon yang diinginkan, aksi rakyat Tasikmalaya kembali dilakukan di Alun-alun pada 5 Maret 1950 untuk menyatakan kesetiaannya terhadap Republik Indonesia.[6] Sedangkan di Bandung terjadi di depan gedung Parlemen Pasundan pada 8 Maret 1950 yang dihadiri oleh ribuan masyarakat menuntut agar Negara Pasundan melebur dalam tubuh Negara Republik Indonesia, serta daerah Jawa Barat lainnya.[7]
Di Bekasi, pada awal 1950, sejumlah tokoh yang pernah bergerak dalam Gerakan Plebisit Bekasi kembali berkumpul. KH. Noer Ali, R. Supardi, M. Hasibuan, Sukardi, Namin, Taminudin, Marzuki Urmaini, Marzuki Hidayat, Hasan Sjahroni, Lukas Kustaryo, Achmad Djaelani, dan Nurhasan Ibnu Hajar melakukan pertemuan untuk menyikapi hasil KMB. Mereka melihat bahwa kondisi Indonesia saat itu terpecah belah. Tidak ada satu-kesatuan utuh sebagaimana semangat proklamasi 17 Agustus 1945.
Hasilnya, mereka membentuk Panitia Amanat Suara Rakyat Bekasi. Ketuanya Sukardi, sekretaris diemban Marzuki Urmaini, Madnuin Hasibuan sebagai penghubung, dan KH. Noer Ali menjadi penasehat.
Bersama sekitar 25.000 masyarakat Bekasi yang berkumpul memenuhi Alun-Alun Bekasi (sekarang antara Jalan Veteran dan Jalan Pramuka, Kota Bekasi) pada 17 Januari 1950 mereka menghasilkan apa yang disebut Resolusi Rakyat Bekasi. Hasil dari Resolusi rakyat Bekasi kemudian dibacakan oleh Entong Gani bin Saadih yang merupakan rakyat awam.
Acara tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari strategi militer dan politis yaitu untuk memperkecil wilayah Belanda di Jakarta, yang dikhawatirkan mengkhianati pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya. Karena hingga pertengahan 1950 Belanda belum hengkang juga dari Indonesia dan masih melakukan provokasi. Bahkan sejumlah media di Australia memberitakan tentang terjadinya bentrokan antara tentara Belanda dengan pihak Indonesia di Bekasi pada 24 Februari 1950, yang mengakibatkan seorang Belanda tewas dan sejumlah tentara lainnya luka-luka. Sehingga asumsinya adalah jika Belanda berhasil menguasai kembali Jakarta, area kekuasaannya menjadi berkurang.
Isi penting dari resolusi tersebut adalah tokoh masyarakat bersama masyarakat Bekasi dan Cikarang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yakni Distrik Jakarta dan Negara Pasundan. Sebaliknya mereka menuntut bergabung ke dalam Negara Republik Indonesia. Yang berikutnya adalah mengubah nama dari Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Lebih jelasnya, isi dari “Resolusi 17 Januari” tersebut adalah:
  • 1.      Penyerahan kekuasaan Pemerintah Federal kepada Republik Indonesia.
  • 2.      Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Republik Indonesia.
  • 3.      Tidak mengakui adanya pemerintahan di daerah Bekasi, selalu pemerintah Republik Indonesia.

Harian umum Pemandangan yang terbit 1 Februari 1950, memuat berita tentang peristiwa di alun-alun Bekasi tentang rapat raksasa.

Selain itu juga, rakyat Bekasi menuntut kepada pemerintah agar nama Kabupaten Jatinegara diganti menjadi Kabupaten Bekasi. Alasannya, jika dilihat dari segi sejarah wilayah dan jangkauan wilayah administrasi, khususnya pada periode 1945-1950, sesungguhnya Kabupaten Jatinegara merupakan gabungan dari dua distrik besar yaitu Distrik Bekasi dan Distrik Cikarang.
Resolusi tersebut ditandatangani oleh Wedana Bekasi (Agus Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (Raden Harun) yang mewakili pemerintah. Madnuin Hasibuan dan Sukardi sebagai perwakilan rakyat Bekasi. Kemudian dikirim ke pemerintahan RI di Yogyakarta, Menteri Dalam Negeri RIS, Residen RI Jakarta Raya di Purwakarta, Gubernur Distrik Federal Jakarta, dan pers. Dalam rapat tersebut turut dihadiri oleh Residen Jakarta, Moh. Moe'min.
Langkah berikutnya, Panitia Amanat Rakyat Bekasi menyusun struktur Pemerintahan Daerah Bekasi, yaitu:
Bupati Bekasi             : Raden Suhandan Umar
Wedana Bekasi          : Sukardi
Camat Bekasi            : Namin
Camat Babelan          : Rameli Suwarsono
Camat Pondok Gede  : Tabrani Kasir
Camat Cilincing         : Marzuki
Tugu Perjuangan di Alun-Alun Kota Bekasi. Sumber: Endra Kusnawan.

Karena rapat akbar dan penyusunan struktur pemerintahan baru tidak mendapatkan izin atau pemberitahuan sebelumnya kepada pemerintahan RIS, s
ore harinya sejumlah Panitia Amanat Rakyat Bekasi, seperti M. Hasibuan dan KH. Noer Ali, ditangkap CPM dan dibawa menghadap Gubernur Militer Jakarta Raya Daan Yahya. Penangkapan dilakukan dengan alasan bahwa rapat akbar tersebut dianggap oleh pemerintahan RIS sebagai upaya kudeta. Namun, setelah mendapat penjelasan dari KH. Noer Ali, akhirnya Daan Yahya berjanji akan mengajukan masalah tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat RIS dan Perdana Menteri Mohammad Natsir.[8]
Untuk menunjang resolusi tersebut, segenap perangkat pemerintahan Distrik Federal Bekasi dilumpuhkan oleh aparat pemerintah Distrik Federal Bekasi itu sendiri. Puncaknya, Agus Sirad selaku Wedana Distrik Federal Bekasi mengundurkan diri pada 6 Februari 1950.[9]
Guna mengenang peristiwa resolusi rakyat Bekasi yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Bekasi, pemerintah mendirikan Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi di lapangan antara Jalan Veteran dan Jalan Pramuka pada 5 Juli 1955. Selain itu juga, untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-10 dan berdirinya Kabupaten Bekasi yang ke-5.


[1] Keng Po, 7 Desember 1949.
[2] Berita Indonesia, 21 Desember 1949
[3] ANRI, Arsip Sekretariat Negara RI Yogyakarta, bundel No. 215.
[4] Berita Indonesia, 31 Januari 1950.
[5] Keng Po, 21 Januari 1950.
[6] Harian Indonesia, 10 Maret 1950
[7] Harian Indonesia, 9 Maret 1950
[8]Ali Anwar. KH. Noer Alie Kemandirian Ulama Pejuang. Yayasan At Taqwa, Bekasi 2015, hlm. 146-148.
[9] Surat Keputusan Wedana Distrik Federal Bekasi tanggal 6-2-1950.
Endra Kusnawan
Endra Kusnawan Orang yang senang belajar sesuatu hal yang baru. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit bagian ngurusin CSR. Waktu luangnya digunakan untuk berbagi pengetahuan seputar sejarah, pelatihan dan motivasi. Dalam konteks sejarah, merupakan pendiri Grup diskusi di Facebook, Wisata Sejarah Bekasi, sejak 26 Januari 2013. Juga merupakan pendiri sekaligus Ketua Komunitas Historia Bekasi sejak Agustus 2016. Bisa dihubungi 0818.0826.1352

3 komentar untuk "Resolusi Rakyat Bekasi (17 Januari 1950)"

  1. Terima kasih penulis, sketsa sejarah ini mengingatkan kembali memori masa kecilku dulu ketika ibu saya sering bercerita tentang masa kanak-kanaknya dulu bersama ayahanda, Ramli Soewarsono (tertulis Camat Babelan) beliau adalah salah satu pendiri Kab Bekasi setelah sebelumnya menjabat sebagai Camat Bekasi di bawah Pemerintahan Kab Djatinegara. Lahir di rumah di depan Stasiun Bekasi, samping bioskop Parahijangan dimana rumah tersebut sering dijadikan tempat berkumpulnya rekan2 seperjuangan Ramli Soewarsono membahas rencana strategis dari sisi birokrasi untuk lahirnya Kabupaten Bekasi.

    BalasHapus
  2. terimakasih artikelnya.. ada nama kakek saya tercantum disejarah ini abah agus sirad yang saat itu menjabat wedana jatinegara yang menandatangani resolusi 17 januari... semoga husnul khotimah. atas semua pengabdiannya pada bangsa ini, masih terbayang senyumnya selalu..

    BalasHapus

Posting Komentar